PURWOKERTO – Selepas Shubuh, Tempo bersama dua
pengamat burung, menembus kabut melaju menuju hutan lereng Gunung Slamet. Satu-satunya
hutan di Jawa Tengah yang masih bagus. Pagi itu, Sabtu (27/10), kami berniat
mengamati Elang Jawa. Menurut informasi dari masyarakat Desa Kalipagu Kecamatan
Baturraden Banyumas, sepasang Elang Jawa sering bertengger di sebatang pohon di
hutan Gunung Slamet.
Sesampainya di lokasi, kami langsung mencari lokasi
terdekat dengan pohon yang biasa digunakan sepasang Elang Jawa itu bertengger. Pohon
itu oleh masyarakat setempat dinamakan pohon Benda. Ada dua dahan yang tak
berdaun yang biasa digunakan untuk bertengger.
Agar tak membuat takut Elang Jawa, dibuatlah lokasi
mengintip dengan kamuflase. Kami membuat semacam goa yang dibangun dari semak
dan rerumputan. Semua serba tertutup, hampir tak terlihat dari luar. Bahkan,
pencari rumput yang melintas, pun tak tahu ada tiga manusia di dalam semak itu.
Tiga buah lubang kami buat dari sela-sela semak. Lubang
ini digunakan sebagai tempat lensa kamera mengunci obyek foto.
Satu jam berlalu, tak ada tanda-tanda burung yang
dijadikan lambang negara itu, burung Garuda, muncul. Mendung agak mengganggu. Elang
Jawa biasanya muncul saat matahari bersinar.
Jam kedua, semut di dalam goa mulai terusik. Mereka menggigit
apa saja yang dirasa mengganggu sarang mereka. Sesekali, ulat bulu terlihat
melintas dengan muka tanpa dosa. Tak mau kalah, lebah madu mendengung menghisap
sari bunga.
Tiga jam berlalu, tak ada tanda-tanda Elang Jawa
muncul. Jarak goa kamuflase dengan pohon tempat tengger sekitar 10 meter. Di posisi
ini, kami yakin bisa mengclose-up muka elang yang cukup gagah itu.
Kaki mulai kram. Perut mulai mengeluarkan bunyi
krucuk-krucuk. Rasa gatal dari ilalang pun mulai terasa. Perasaan bosan pun
mulai melanda. “Kita harus bertahan,” kata Timur Sumardiyanto, Koordinator
Banyumas Biodiversity Banyumas, Timur Sumardiyanto.
“Biasanya jam segini, elang mulai keluar,” kata
Hariyawan Agung Wahyudi, Advisor Board Raptor Indonesia, sambil sesekali
mencoba meluruskan kaki yang mulai kesemutan.
Tepat pukul 12.00, kami memutuskan keluar tempat
persembunyian. Elang Jawa yang ditunggu tak muncul juga.
Tiba-tiba, dari arah belakang persembunyian, kami
melihat sepasang Sikep Madu Asia dan seekor Elang Alap Cina. Dua burung jenis
raptor yang merupakan burung migrant. Sikep Madu asalnya dari Jepang dan daerah
Siberia. Sementara Elang Alap, berasal dari Cina.
Mereka mengikuti angin dan menghindari musim dingin dengan
melakukan perjalanan ribuan kilometer menuju Indonesia yang suhunya lebih
hangat. Biasanya, tempat persinggahan terakhir adalah Nusa Tenggara Timur. “Gunung
Slamet dan Sungai Serayu merupakan salah satu tempat favorit burung migrant ini,”
kata Timur.
Bulan-bulan ini, kata dia, puluhan ribu burung
migran mulai terlihat di angkasa Banyumas. Saat ini mereka sedang singgah atau
roosting di sejumlah tempat di Banyumas.
“Kedatangan mereka sebenarnya sudah dimulai sejak awal
Oktober, biasanya mereka tinggal hingga Maret,” ujarnya.
Timur mengatakan, Banyumas menjadi salah satu tempat
persinggahan burung migran dari belahan bumi bagian utara. Saat ini, belahan
bumi bagian utara sedang memasuki musim dingin sehingga burung bermigrasi ke
wilayah bumi bagian selatan termasuk Indonesia.
Migrasi burung tersebut terjadi setiap tahun. Burung
membutuhkan suhu hangat yang bisa ditemukan di daerah tropis. Jenis burung yang bermigrasi meliputi puluhan
jenis elang, layang-layang dan burung air. Dari pantauan Tempo, burung tersebut
bertengger di dahan pohon pinus dan kabel SUTET.
"Burung tersebut berasal dari sekitar Siberia,
Cina dan Jepang. Mereka terbang menempuh ribuan kilometer melalui semenanjung
Malaya, melewati Sumatera kemudian melintasi Jawa dan berakhir di kepulauan
Nusa Tenggara," kata Timur.
Timur menambahkan, periode kedatangan migrasi
burung-burung tersebut dimulai dari Oktober hingga Nopember setiap tahunnya.
Setelah istirahat sekitar 3 bulan, mereka akan memulai perjalanan pulang di
awal bulan Maret.
Dalam sehari, rata-rata 800 ekor burung
Layang-Layang Api dan Layang-Layang Loreng Asia melintas di atas Bendung Gerak
Serayu. Burung-burung tersebut menggunakan kawasan hutan di sepanjang DAS
Serayu untuk istirahat di malam harinya.
Menurutnya, Sungai Serayu cukup disenangi burung
migran karena melimpahnya makanan dan air. Seperti terlihat dari pantauan
Tempo, burung-burung tersebut terlihat melayang di atas sawah-sawah petani
untuk memakan belalang.
Selain burung pemakan serangga, burung pemakan
daging atau raptors juga terlihat di sekitar hutan pinus. Mereka memakan
burung-burung kecil yang jumlahnya ribuan itu. Diantaranya, elang alap
cina(Accipiter soloensis) dan elang alap shikra(Accipiter badius).
Ia mengatakan, jumlah burung yang terpantau belum
banyak, karena awal Oktober hingga saat ini masih merupakan awal periode
migrasi. Perlu secara kontinyu dilakukan pengamatan sepanjang periode migrasi
untuk mengetahui pola migrasi.
"Migrasi burung sangat penting untuk mengetahui
perubahan kondisi lingkungan, terutama terkait geothermal. Penggundulan hutan
akan berdampak pada perubahan geothermal, dan burung bermigrasi dapat menjadi
indikator perubahan tersebut," kata Hariyawan Agung Wahyudi, peneliti
keragaman hayati yang sejak tahun 2000 memantau migrasi burung di kawasan Banyumas.
Wahyudi mengatakan, kegiatan pemantauan burung
bermigrasi di Banyumas juga dilakukan diberbagai kota di Indonesia yang menjadi
jalur perlintasan, yaitu Aceh dan Medan di Sumatera, Bogor dan Yogyakarta di
Jawa, serta Ketapang di Kalimantan. Masing-masing pengamat tergabung dalam
jaringan pengamat burung se-Indonesia yaitu Burung Nusantara.
"Kami mencoba mengenalkan tentang migrasi
burung kepada masyarakat Banyumas, agar perhatian terhadap lingkungan di
Banyumas bisa ditingkatkan. Tidak banyak yang mengetahui bahwa Banyumas
kedatangan puluhan tibu tamu dari jauh setiap tahunnya. Hal ini bisa menjadi
potensi wisata pendidikan jika dikelola dengan baik," imbuh Wahyudi.
Eksekutif Officer Raptor Indonesia, Asman Adi
Purwanto mengatakan, Elang Alap Cina dan Sikep Madu Asia merupakan burung
raptor yang terdeteksi sudah mulai masuk Indonesia. “Terakhir, burung yang
dipasangi alat pendeteksi itu sudah sampai Riau,” katanya.
Tempo sempat memotret sepasang Sikep Madu Asia di
lereng Gunung Slamet. Mereka terbang tinggi di angkasa sambil bercengkerama.
Masih menurut Asman, ada empat burung yang dipasangi
alat pendeteksi oleh pemerhati burung di Keio University Jepang. Empat burung
itu diberi nama, Ken, Kuro, Yama dan Nao. Posisi terakhir mereka terdeteksi di Malaysia
dan Sumatera. “Jika tak ada gangguan, kemungkinan mereka seminggu lagi bisa
sampai di Banyumas,” katanya.
Sikep Madu berukuran sekitar 50 centimeter. Warna
sangat bervariasi dalam bentuk, terang, normal, dari dua ras yang berbeda.
Masing-masing ,meniru elang yang berbeda dalam pola warna bulu.
Terdapat garis-garis pada ekor yang tidak teratur.
Semua bentuk memiliki tenggorokan berbercak pucat kontras, dibatasi oleh garis
tebal hitam, sering dengan garis hitam mesial. Ciri khas ketika terbang kepala
relatif kecil menyempit, leher agak panjang, sayap panjang menyempit, ekor
berpola. Pada saat soaring ekor cenderung mengembang.
Perjalanan mencari Elang Jawa hari itu pun berakhir.
Meski tak bisa melihat Elang Jawa, kami berhasil memotret Sikep Madu dan Alap
Cina.
Sesaat sebelum pulang, tiba-tiba di atas pohon di
bukit seberang. Sesosok bayangan berkelebat. Di atas kepalanya, ada sepasang
jambul yang tegak berdiri macam habis diberi minyak rambut tancho. Setelah
diambil gambarnya, barulah kami tahu, kalau itu burung Elang Jawa yang sedang
betengger.
Dalam diamnya, Elang itu seakan berkata. “Kasian deh
lu”
ARIS ANDRIANTO
0 komentar:
Posting Komentar