Sabut kelapa disemprot getah karet jadi kasur dan jok mobil. Pasarnya luas, produksi terbatas.
JANGANKAN ompol anak kecil, ompol orang tuanya pun tidak bakal tersisa. ”Semua bablas wes ewes ewes, keluar langsung ke bawah melalui pori-pori.” Begitulah Haji Karsono mempromosikan dagangannya: kasur dari bahan serat sabut kelapa keriting berkaret alam. ”Tinggal angkat kasur, semprot menggunakan shower, beres,” kata pengusaha asal Cilacap, Jawa Tengah, itu.
Tak mengherankan jika produk buatan pria 68 tahun itu memikat pengunjung pameran Small Medium Enterprise Company yang digelar di Jakarta Convention Center, 30 Juli-3 Agustus 2008. Selama pameran, ia mencatat transaksi senilai Rp 80 juta. Harga produk Karsono memang lumayan mahal. Untuk sebuah bantal, misalnya, Didik, pengunjung dari Cibubur, Jakarta, harus merogoh Rp 125 ribu.
Pak Haji—begitu Karsono akrab disapa—aslinya adalah petani karet. Ia biasa menjual lateks ke pabrik ban. Setiap bulan, dari 10 hektare kebun karetnya, ia bisa memproduksi satu ton lateks yang menghasilkan Rp 27 jutaan. Tapi uang sebesar itu tak cukup bagi pensiunan Dinas Pendapatan Daerah Cilacap itu untuk membiayai sekolah yang dikelolanya. ”Saya punya sekolah gratis,” katanya.
Itu pula yang mendorong Karsono melebarkan sayap. Ia memulai ekspansi usahanya dari sabut kelapa atau biasa disebut penduduk di sana tepes. Karsono melihat tumpukan limbah kopra itu banyak disia-siakan perajin yang tinggal di Desa Tambaksari, Kecamatan Wanareja, tiga kilometer dari Kota Cilacap. Paling banter, sabut kelapa itu hanya dipakai sebagai pengganti kayu bakar.
Karsono pun menyampaikan persoalan ini ke Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Cilacap. Pada Desember 2006, ia dan beberapa petani karet dipanggil untuk mengikuti pelatihan membuat produk yang menggabungkan unsur sabut kelapa dan getah karet di Balai Penelitian Teknologi Karet, Bogor, Jawa Barat, selama seminggu.
Begitu pulang, Karsono langsung mempraktekkan ilmu barunya. Secara manual, ia memintal, mengeriting, dan mengeringkan sabut. Hasilnya lantas disemprot dengan lateks yang berfungsi sebagai pengikat sabut. ”Hasilnya, kok ya bagus,” katanya. Sejak itu, Karsono serius nyemplung ke bisnis pengolahan tepes. Ia lalu mengajak tujuh kawan yang dulu kursus ke Bogor membentuk kelompok usaha bersama serat sabut kelapa berkaret, disingkat Sebutret.
Tapi, ada masalah. Karsono tak mungkin mengolah tepes dalam jumlah besar hanya dengan tangan. Ia kemudian mengajukan permohonan bantuan mesin industri kepada Menteri Perindustrian Fahmi Idris melalui Bupati Cilacap Frans Lukman pada 2007. Kebetulan alat-alat itu memang tak dijual di toko. Tak dinyana, Menteri Fahmi setuju. Departemen Industri pun menggelar tender pengadaan peralatan senilai Rp 300 juta.
Pemenang tender diminta berkoordinasi dengan Karsono untuk merakit dan mendesain sembilan jenis mesin, mulai alat pemintal hingga oven. Berbagai mesin itu datang pada akhir 2007. ”Ini hibah, bukan pinjaman,” ujarnya. Dengan peralatan itu, ia bisa menghasilkan 30 meter kubik produk sabut kelapa keriting cetak atau lapik sebulan. Tiap meter kubik produk akhir campuran sabut lateks ini memerlukan 25 kilogram lapik dan 45 kilogram lateks.
Ternyata, permintaan datang bertubi-tubi. Sementara selama ini ia hanya memenuhi permintaan lokal, seperti Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta, belakangan mulai banyak pesanan dari luar negeri, antara lain dari Amerika, Jepang, Korea, dan Cina. Mereka minta dikirim minimal 150 kubik sebulan (setara dengan dua kontainer) senilai sekitar Rp 375 juta (per kubik Rp 2,5 juta).
Karsono pun angkat tangan. Dengan mesin yang ada, usahanya tak mungkin bisa memenuhi semua pesanan itu. Kelompok usahanya akhirnya nekat kembali mengajukan permintaan bantuan ke Departemen Perindustrian. Eh, Menteri Fahmi setuju lagi. ”Denger-denger duitnya sudah cair Rp 400 juta. Sudah ditender.” Mesin baru itu akan menaikkan produksi dua-tiga kali lipat. Ongkos produksi pun bisa ditekan dari Rp 2 juta per kubik saat ini menjadi Rp 1,7 juta.
Jika mesin sudah dikirim, Karsono berharap bisa segera memasok produknya ke luar negeri. Sementara di dalam negeri kebanyakan untuk kasur, pembeli luar negeri memesan untuk jok mobil. Kursi mobil berbahan tepes sebenarnya sudah ada, terutama mobil buatan Jerman. Bedanya, kata Karsono, jok lapik karet alam bikinannya keriting sehingga lebih lentur. Karsono pun tak pusing lagi membiayai sekolahnya.
0 komentar:
Posting Komentar