Tan Malaka membangun Persatuan Perjuangan di Purwokerto. Upaya menyerang politik diplomasi pemerintah.
PURWOKERTO, kota kecil di selatan Jawa Tengah, menyala-nyala. Bintang Merah, bendera Murba, berderet-deret setengah kilometer dari alun-alun kota hingga Societeit, balai pertemuan merangkap gedung bioskop. Tiga ratusan orang memenuhi bangunan itu. Mereka wakil dari 141 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan laskar.
Nirwan, guru Sekolah Rakyat dan aktivis Murba, mengingat petang itu, 4 Januari 1946, tepat seratus hari pasukan Sekutu mendarat di Jawa. ”Orang berduyun-duyun ke kota ingin menyaksikan tamu yang datang,” ujar pria yang saat itu berusia 16 tersebut.
Rapat politik itu dihadiri antara lain para pemimpin pusat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dan Persatuan Wanita Indonesia. Rakyat jelata berjejal-jejal. Mereka antusias, karena Panglima Besar Jenderal Soedirman juga di tengah-tengah mereka.
Nirwan menuturkan peserta rapat tiba dengan kereta api. Mereka yang tiba dari Purbalingga, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, dan Solo turun di Stasiun Timur. Adapun peserta dari Jawa Barat turun di Stasiun Raya, kini stasiun di kota itu. Para kader Murba dari daerah dengan sukarela menyumbang pelbagai barang: sekadar beras atau gula merah. Tak hanya untuk konsumsi rapat, barang-barang yang terkumpul dijual untuk keperluan lain.
Murba ketika itu belum menjadi partai, melainkan gerakan rakyat jelata. Tan Malaka menggagasnya buat melawan kapitalisme dan penjajahan serta untuk menggapai kesejahteraan. Purwokerto dianggap merupakan basis kuat, karena itu Tan memilihnya untuk tempat kongres para pemimpin berbagai organisasi.
Di kota ini, Tan bersahabat kental dengan Slamet Gandhiwijaya. Tokoh Murba Purwokerto ini menjadi penyandang dana terbesar. Dari Slamet pula Nirwan mengenal sosok Tan Malaka. ”Slamet menjual sawah untuk biaya kongres,” kata Nirwan, yang menjadi Ketua Agitasi dan Propaganda setelah Tan mendeklarasikan Partai Murba pada November 1948.
Slamet pernah dibuang ke Digul karena aktif di gerakan kiri menentang Belanda. Saat pendudukan Jepang, pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 1901 ini dipercaya memimpin sejumlah proyek pembangunan, seperti jalan dan waduk. Belum semua proyek rampung, Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Jepang kalah dan lari dari daerah pendudukannya di Asia Timur, termasuk Indonesia. Ketika Jepang menyingkir dari Jawa, menurut peneliti dan penulis buku tentang Tan Malaka, Harry A. Poeze, koper Slamet masih penuh uang. Duit ini yang dipakai untuk biaya gerakan politik.
Slamet tinggal di dekat Stasiun Kedungrandu, Kecamatan Patikraja, Banyumas, 10 kilometer dari Kota Purwokerto. Dulu, perusahaan kereta api Belanda, Serajoedal Stoomtram Maatschappij dan Serajoedal Staatspoor, mengoperasikan kereta api Cilacap-Stasiun Raya Purwokerto-Gombong yang melalui Kedungrandu. Jalur ini melintas di dekat aliran Sungai Serayu. Tapi pada 1936, dua perusahaan itu bangkrut.
Ada tiga rumah bekas petinggi perusahaan kereta api Belanda di Kedungrandu. Satu di antaranya ditempati keluarga Slamet. Di kiri-kanan rumah Slamet terhampar sawah. Di kejauhan tampak bukit-bukit hijau. Rumah Slamet menghadap ke utara, berpagar pohon petai cina. Di belakang rumah mengalir Kali Pematusan, sekaligus pembatas rumah dengan sawah. ”Dulu saya suka memetik klandingan (petai cina) di situ,” ungkap Nasirun, 66 tahun, tetangga Slamet.
Rumah berarsitektur Belanda ini telah dilengkapi telepon dan garasi mobil. Darmuji, 76 tahun, penduduk setempat, mengenal Slamet sebagai priyayi terpandang dan kaya di Patikraja. Orang kebanyakan, termasuk Darmuji, umumnya takut bertamu. ”Saya dan Den Slamet kan beda,” katanya.
Ketika pergi ke Purwokerto, Tan selalu menginap di sini. Di rumah ini pula Tan bertemu dengan Soedirman sebelum kongres. Slamet dan istrinya, Martini, memanggil Tan dengan sebutan Ohir. Mungkin diambil dari bahasa Belanda, ouheer, yang bermakna orang tua. Perintis Gunawan, 49 tahun, anak Slamet yang kini tinggal di Cireundeu, Tangerang, mendapat kisah ini dari ibunya.
Jika mendengar kabar mata-mata musuh mencari, Tan segera bersembunyi di perbukitan. Martini lihai merahasiakannya. ”Kalau Tan lari ke selatan, ibu saya bilang larinya ke utara,” kata Perintis. Rumah Slamet dijaga Nero, anjing peliharaan. Ada juga kolam ikan. Di sini ada ikan yang dinamai Yopi. ”Jika tangan Tan menaburkan pakan, Yopi langsung menyaut,” kata Perintis, mengingat kisah dari ibunya. Martini, yang kelahiran Purwokerto, 5 Oktober 1920, adalah aktivis perempuan Muhammadiyah, Aisyiah. Ia meninggal November tahun lalu.
Rumah Slamet sejak 1977 menjadi gedung Koperasi Unit Desa Patikraja. Memang, ia telah mengosongkan rumah itu seusai Agresi Belanda II pada Desember 1948. Ia membangun rumah di atas tanah milik sendiri, satu kilometer dari rumah lama. Slamet mengembalikan rumah lama kepada negara. Sejak itu rumah tidak dirawat. Kayu lapuk dan tembok ambrol. Kini, di atasnya berdiri bangunan baru sejumlah rumah. Bekas Stasiun Kedungrandu dibeli Si Kuan, pengusaha setempat, untuk penggilingan padi, yang hingga kini bertahan.
Di rumah baru, Slamet membuka usaha furnitur. Martini menekuni industri rumah kain batik. Slamet menempati rumah ini hingga ia meninggal 4 September 1966. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Nirwana, Purwokerto, sebagai perintis kemerdekaan. Kini, meja dan kursi tempat Tan berdiskusi dengan Soedirman sambil makan masih terawat. Meja kayu jati bulat telur itu semula hitam. Pelitur ulang mengubahnya menjadi cokelat.
Gedung pertemuan tempat Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto itu sejak 1964 hingga kini menjadi gedung Radio Republik Indonesia di Jalan Jenderal Soedirman. Menurut Soegeng Wijono, 70 tahun, ahli sejarah ekonomi Purwokerto, gedung itu beberapa kali berubah nama. Pada zaman Belanda bernama Societeit. Jepang masuk berganti nama Gedung Asia Bersatu. Setelah Republik berdiri, disebut Balai Prajurit. ”Tapi orang-orang tua lebih suka menyebutnya Societeit,” kata Soegeng.
Untuk menuju Societeit, tempat kongres, Tan berangkat dari rumah Slamet menggunakan mobil yang ia bawa dari Yogyakarta. Banyak peserta kongres belum mengenal Tan. Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta terbitan 6 Januari 1946, seperti ditulis Harry A. Poeze dalam bukunya, menggambarkan peserta rapat terdiam menahan napas menyambut Tan naik podium.
Koran Indonesia saat itu umumnya terbit hanya dua halaman. Jarang sekali koran menulis gambaran suasana. Kedaulatan Rakyat melaporkan:
Umur beliau lebih dari 50 tahun. Tetapi kelihatannya lebih muda. Badan beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar. Mata agak kecil tapi tajam. Melihat kerut-kerut wajah beliau, maka kelihatanlah dengan nyata karakter beliau yang kukuh, kuat, dan berdisiplin. Pakaian sederhana. Berkemeja dan bercelana pendek dan berkaos kaki panjang.
Nuansa ketidakpuasan menyelimuti kongres. Para peserta tak sepakat dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir. Tan geram dengan para pemimpin yang tak bereaksi atas masuknya Sekutu ke Indonesia.
Tan mengajukan tujuh pasal program minimum: berunding untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen, membentuk pemerintah rakyat, membentuk tentara rakyat, melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa, menyita perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri.
Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Tan bertamsil: orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya. ”Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan,” katanya.
Jenderal Soedirman tak kalah garang. Ia berpidato di kongres: ”Lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen.” Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk Persatuan Perjuangan.
Persatuan kemudian dideklarasikan di Balai Agung, Solo, pada 15 Januari 1946. Kongres Solo disebut Kongres I Persatuan Perjuangan. Dibuka pukul 10 pagi, kongres ini dihadiri 141 organisasi. Panitia mengundang Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan anggota kabinet. Tapi, yang datang hanya Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, Jaksa Agung Gatot Taroenamihardjo, dan Panglima Besar Soedirman. Sultan Yogya dan Susuhunan Solo mengirimkan wakil mereka. Peserta menginap di Hotel Merdeka, Solo.
Setelah bendera oposisi dikibarkan di Purwokerto, Tan ditangkap. Ia lalu dipenjarakan di sejumlah tempat: Wirogunan Yogyakarta, Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang.
Ketika Tan dipenjara di Wirogunan pada 1946, anak muda Murba bernama Anwar Bey, kini 79 tahun, besuk bersama Abdullah, guru Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Adabiyah Padang, juga orang Pari—Partai Republik Indonesia. Anwar kelak menjadi wartawan Antara dan Sekretaris Wakil Presiden Adam Malik. Mereka diutus pemuda Sumatera Barat. Perjumpaan itu cuma setengah jam dan mereka tak banyak bicara karena diawasi sipir pendukung Hatta. ”Tan hanya bilang teruskan perjuangan,” kata Anwar.
Konferensi itu sebenarnya direncanakan berlangsung di Malang, Jawa Timur, Desember 1945. Ketika itu, laskar dan tentara meninggalkan Surabaya setelah pertempuran 10 November 1945. Tapi, karena banyak wakil berada di Jawa Barat dan Jakarta, konferensi dimundurkan. Tan ke Cirebon menemui wakil-wakil organisasi dari pelbagai daerah. Selanjutnya, untuk pertama kalinya Tan bertemu dengan wakil organisasi dari kota-kota di Jawa pada 1 Januari 1946 di Demakijo, Godean, Yogyakarta. Mereka sepakat bertemu di Purwokerto.
Kelak, pertemuan Purwokerto diakui memberikan sumbangan besar. Ketika memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19 Februari 1957, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan pikiran Tan dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini, menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua kali agresi Belanda. Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia.
Nirwan, guru Sekolah Rakyat dan aktivis Murba, mengingat petang itu, 4 Januari 1946, tepat seratus hari pasukan Sekutu mendarat di Jawa. ”Orang berduyun-duyun ke kota ingin menyaksikan tamu yang datang,” ujar pria yang saat itu berusia 16 tersebut.
Rapat politik itu dihadiri antara lain para pemimpin pusat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dan Persatuan Wanita Indonesia. Rakyat jelata berjejal-jejal. Mereka antusias, karena Panglima Besar Jenderal Soedirman juga di tengah-tengah mereka.
Nirwan menuturkan peserta rapat tiba dengan kereta api. Mereka yang tiba dari Purbalingga, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, dan Solo turun di Stasiun Timur. Adapun peserta dari Jawa Barat turun di Stasiun Raya, kini stasiun di kota itu. Para kader Murba dari daerah dengan sukarela menyumbang pelbagai barang: sekadar beras atau gula merah. Tak hanya untuk konsumsi rapat, barang-barang yang terkumpul dijual untuk keperluan lain.
Murba ketika itu belum menjadi partai, melainkan gerakan rakyat jelata. Tan Malaka menggagasnya buat melawan kapitalisme dan penjajahan serta untuk menggapai kesejahteraan. Purwokerto dianggap merupakan basis kuat, karena itu Tan memilihnya untuk tempat kongres para pemimpin berbagai organisasi.
Di kota ini, Tan bersahabat kental dengan Slamet Gandhiwijaya. Tokoh Murba Purwokerto ini menjadi penyandang dana terbesar. Dari Slamet pula Nirwan mengenal sosok Tan Malaka. ”Slamet menjual sawah untuk biaya kongres,” kata Nirwan, yang menjadi Ketua Agitasi dan Propaganda setelah Tan mendeklarasikan Partai Murba pada November 1948.
Slamet pernah dibuang ke Digul karena aktif di gerakan kiri menentang Belanda. Saat pendudukan Jepang, pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 1901 ini dipercaya memimpin sejumlah proyek pembangunan, seperti jalan dan waduk. Belum semua proyek rampung, Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Jepang kalah dan lari dari daerah pendudukannya di Asia Timur, termasuk Indonesia. Ketika Jepang menyingkir dari Jawa, menurut peneliti dan penulis buku tentang Tan Malaka, Harry A. Poeze, koper Slamet masih penuh uang. Duit ini yang dipakai untuk biaya gerakan politik.
Slamet tinggal di dekat Stasiun Kedungrandu, Kecamatan Patikraja, Banyumas, 10 kilometer dari Kota Purwokerto. Dulu, perusahaan kereta api Belanda, Serajoedal Stoomtram Maatschappij dan Serajoedal Staatspoor, mengoperasikan kereta api Cilacap-Stasiun Raya Purwokerto-Gombong yang melalui Kedungrandu. Jalur ini melintas di dekat aliran Sungai Serayu. Tapi pada 1936, dua perusahaan itu bangkrut.
Ada tiga rumah bekas petinggi perusahaan kereta api Belanda di Kedungrandu. Satu di antaranya ditempati keluarga Slamet. Di kiri-kanan rumah Slamet terhampar sawah. Di kejauhan tampak bukit-bukit hijau. Rumah Slamet menghadap ke utara, berpagar pohon petai cina. Di belakang rumah mengalir Kali Pematusan, sekaligus pembatas rumah dengan sawah. ”Dulu saya suka memetik klandingan (petai cina) di situ,” ungkap Nasirun, 66 tahun, tetangga Slamet.
Rumah berarsitektur Belanda ini telah dilengkapi telepon dan garasi mobil. Darmuji, 76 tahun, penduduk setempat, mengenal Slamet sebagai priyayi terpandang dan kaya di Patikraja. Orang kebanyakan, termasuk Darmuji, umumnya takut bertamu. ”Saya dan Den Slamet kan beda,” katanya.
Ketika pergi ke Purwokerto, Tan selalu menginap di sini. Di rumah ini pula Tan bertemu dengan Soedirman sebelum kongres. Slamet dan istrinya, Martini, memanggil Tan dengan sebutan Ohir. Mungkin diambil dari bahasa Belanda, ouheer, yang bermakna orang tua. Perintis Gunawan, 49 tahun, anak Slamet yang kini tinggal di Cireundeu, Tangerang, mendapat kisah ini dari ibunya.
Jika mendengar kabar mata-mata musuh mencari, Tan segera bersembunyi di perbukitan. Martini lihai merahasiakannya. ”Kalau Tan lari ke selatan, ibu saya bilang larinya ke utara,” kata Perintis. Rumah Slamet dijaga Nero, anjing peliharaan. Ada juga kolam ikan. Di sini ada ikan yang dinamai Yopi. ”Jika tangan Tan menaburkan pakan, Yopi langsung menyaut,” kata Perintis, mengingat kisah dari ibunya. Martini, yang kelahiran Purwokerto, 5 Oktober 1920, adalah aktivis perempuan Muhammadiyah, Aisyiah. Ia meninggal November tahun lalu.
Rumah Slamet sejak 1977 menjadi gedung Koperasi Unit Desa Patikraja. Memang, ia telah mengosongkan rumah itu seusai Agresi Belanda II pada Desember 1948. Ia membangun rumah di atas tanah milik sendiri, satu kilometer dari rumah lama. Slamet mengembalikan rumah lama kepada negara. Sejak itu rumah tidak dirawat. Kayu lapuk dan tembok ambrol. Kini, di atasnya berdiri bangunan baru sejumlah rumah. Bekas Stasiun Kedungrandu dibeli Si Kuan, pengusaha setempat, untuk penggilingan padi, yang hingga kini bertahan.
Di rumah baru, Slamet membuka usaha furnitur. Martini menekuni industri rumah kain batik. Slamet menempati rumah ini hingga ia meninggal 4 September 1966. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Nirwana, Purwokerto, sebagai perintis kemerdekaan. Kini, meja dan kursi tempat Tan berdiskusi dengan Soedirman sambil makan masih terawat. Meja kayu jati bulat telur itu semula hitam. Pelitur ulang mengubahnya menjadi cokelat.
Gedung pertemuan tempat Kongres Persatuan Perjuangan di Purwokerto itu sejak 1964 hingga kini menjadi gedung Radio Republik Indonesia di Jalan Jenderal Soedirman. Menurut Soegeng Wijono, 70 tahun, ahli sejarah ekonomi Purwokerto, gedung itu beberapa kali berubah nama. Pada zaman Belanda bernama Societeit. Jepang masuk berganti nama Gedung Asia Bersatu. Setelah Republik berdiri, disebut Balai Prajurit. ”Tapi orang-orang tua lebih suka menyebutnya Societeit,” kata Soegeng.
Untuk menuju Societeit, tempat kongres, Tan berangkat dari rumah Slamet menggunakan mobil yang ia bawa dari Yogyakarta. Banyak peserta kongres belum mengenal Tan. Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta terbitan 6 Januari 1946, seperti ditulis Harry A. Poeze dalam bukunya, menggambarkan peserta rapat terdiam menahan napas menyambut Tan naik podium.
Koran Indonesia saat itu umumnya terbit hanya dua halaman. Jarang sekali koran menulis gambaran suasana. Kedaulatan Rakyat melaporkan:
Umur beliau lebih dari 50 tahun. Tetapi kelihatannya lebih muda. Badan beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar. Mata agak kecil tapi tajam. Melihat kerut-kerut wajah beliau, maka kelihatanlah dengan nyata karakter beliau yang kukuh, kuat, dan berdisiplin. Pakaian sederhana. Berkemeja dan bercelana pendek dan berkaos kaki panjang.
Nuansa ketidakpuasan menyelimuti kongres. Para peserta tak sepakat dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir. Tan geram dengan para pemimpin yang tak bereaksi atas masuknya Sekutu ke Indonesia.
Tan mengajukan tujuh pasal program minimum: berunding untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen, membentuk pemerintah rakyat, membentuk tentara rakyat, melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa, menyita perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri.
Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Tan bertamsil: orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya. ”Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan,” katanya.
Jenderal Soedirman tak kalah garang. Ia berpidato di kongres: ”Lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen.” Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk Persatuan Perjuangan.
Persatuan kemudian dideklarasikan di Balai Agung, Solo, pada 15 Januari 1946. Kongres Solo disebut Kongres I Persatuan Perjuangan. Dibuka pukul 10 pagi, kongres ini dihadiri 141 organisasi. Panitia mengundang Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan anggota kabinet. Tapi, yang datang hanya Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, Jaksa Agung Gatot Taroenamihardjo, dan Panglima Besar Soedirman. Sultan Yogya dan Susuhunan Solo mengirimkan wakil mereka. Peserta menginap di Hotel Merdeka, Solo.
Setelah bendera oposisi dikibarkan di Purwokerto, Tan ditangkap. Ia lalu dipenjarakan di sejumlah tempat: Wirogunan Yogyakarta, Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang.
Ketika Tan dipenjara di Wirogunan pada 1946, anak muda Murba bernama Anwar Bey, kini 79 tahun, besuk bersama Abdullah, guru Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Adabiyah Padang, juga orang Pari—Partai Republik Indonesia. Anwar kelak menjadi wartawan Antara dan Sekretaris Wakil Presiden Adam Malik. Mereka diutus pemuda Sumatera Barat. Perjumpaan itu cuma setengah jam dan mereka tak banyak bicara karena diawasi sipir pendukung Hatta. ”Tan hanya bilang teruskan perjuangan,” kata Anwar.
Konferensi itu sebenarnya direncanakan berlangsung di Malang, Jawa Timur, Desember 1945. Ketika itu, laskar dan tentara meninggalkan Surabaya setelah pertempuran 10 November 1945. Tapi, karena banyak wakil berada di Jawa Barat dan Jakarta, konferensi dimundurkan. Tan ke Cirebon menemui wakil-wakil organisasi dari pelbagai daerah. Selanjutnya, untuk pertama kalinya Tan bertemu dengan wakil organisasi dari kota-kota di Jawa pada 1 Januari 1946 di Demakijo, Godean, Yogyakarta. Mereka sepakat bertemu di Purwokerto.
Kelak, pertemuan Purwokerto diakui memberikan sumbangan besar. Ketika memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19 Februari 1957, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan pikiran Tan dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini, menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua kali agresi Belanda. Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar