Dengan langkah pelan, Irman, berjalan mengendap-endap. Di tangan kanannya tergenggam binokuler. Sementara di tangan kirinya terselip buku catatan dan sebuah bolpoin. Lama ia memicingkan mata mencari sesuatu yang bergerak nun jauh di sana.
“Itu Elang Jawa sedang membuat sarang,” kata Irman, Rabu (20/6).
Irman merupakan satu dari 26 siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kutasari Purbalingga. Selama tiga hari penuh, mulai dari Minggu (17/6) hingga Rabu (20/6), ia bersama rekan-rekannya melakukan pemetaan dan pendataan keragaman hayati di Gunung Slamet. Gunung dengan ketinggian 3.426 meter di atas permukaan laut itu, selama ini menyimpan berbagai jenis flora dan fauna endemik.
Pendataan dilakukan oleh Pecinta Alam Pranaya dan Arunapala. Pranaya sendiri merupakan ektrakulikuler SMA Terbuka Kutasari sementara Arunapala merupakan kelompok pecinta alam SMA regular Kutasari. Pendataan tersebut juga dibantu oleh aktifis lingkungan dari Bio Eksplorer dan Komunitas Peduli Gunung Slamet, serta dokumentasi dari Komunitas Angonfoto.
Perjalanan untuk melakukan pendataan terbilang cukup berat. Awalnya peserta harus menembus lahan pertanian penduduk. Tanaman kentang, wortel, sawi, dan lainnya menghiasi babak pertama perjalanan. Bukit-bukit yang dulunya hijau, kini sudah berubah menjadi lahan pertanian mirip di Dieng.
Dengan pola tanam yang menimbulkan erosi, dimana teraseringnya dibuat mengikuti aliran air, petani mulai menggunakan pupuk kandang yang berlebihan karena tanah lapisan atas sudah mulai hilang. Bau menyengat dari tumpukan pupuk kandang cukup membuat kepal pusing. Di area ini, tak banyak flora maupun fauna yang bisa dicatat, selain tanaman sayuran yang semakin lama semakin meluas daerahnya.
Memasuki perbatasan antara lahan pertanian dengan hutan rimba, peserta pendataan mendirikan kemah. Di lokasi ini mereka juga menelisik berbagai jenis burung yang tinggal di sana. Salah satunya yakni Elang Jawa yang merupakan salah satu hewan dilindungi.
“Elang Jawa merupakan burung raptor yang dilindungi. Mereka berada di puncak rantai makanan, sehingga kalau burung ini terus diburu, aka nada kekacauan dalam ekosistem,” kata Elisabet Rose Rahayu Boru Hutabarat, mahasiswa Semester 8 Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Ia mengaku sudah puluhan kali melakukan pengamatan fauna, khususnya burung. Selain di Gunung Slamet, ia juga pernah mengikuti pengamatan burung di Bogor dan daerah lain di Jawa. Baginya, melakukan pengamatan burung merupakan hobi sekaligus kecintaannya terhadap kelestarian lingkungan. Hobinya itu sudah dilakukan sejak 2009, mengalahkan kewajibannya untuk kuliah dan praktikum di laboratorium. Setidaknya, itulah pengakuan Elisabet.
Menurut dia, kegiatan pendataan dan pengamatan lebih tepat sasaran dibandingkan pengamatan di kebun binatang. Dengan pengamatan langsung di lapangan, dia bisa dengan jelas mengetahui perilaku hewan. Selain itu, yang lebih penting yakni, siswa bisa mengerti kegiatan konservasi alam. Ia sendiri membawa buku tebal, katalog berbagai jenis burung yang ditemukan di Indonesia. Dengan buku itu, ia membandingkan morfologi burung yang dilihatnya melalui binokuler dengan informasi yang sudah pernah ditulis sebelumnya oleh peneliti lain.
Ia menambahkan, pendidikan untuk mengenal lingkungan sebaiknya langsung dilakukan di lapangan. Dibandingkan melalui buku atau kebun binatang, pengenalan perilaku binatang akan lebih masuk ke otak dan rasa jika bisa melihat langsung di alamnya.
Pengamatan di Gunun Slamet itu sendiri sedikitnya mampu mengidentifikasi sekitar 25 jenis burung. Selain itu, flora endemik Gunung Slamet seperti berbagai jenis anggrek juga berhasil terdokumentasi dengan baik. Bahkan, peserta sempat melihat burung Kacamata Enggano yang diperkirakan sudah tak ada di Jawa.
Selain itu, peserta juga bisa mendokumentasikan perilaku Elang Jawa saat membuat sarang. Nampak dua sepasang Elang Jawa sedang membuat sarang di puncak pohon. Burung yang dijadikan lambang nasional, yakni Burung Garuda ini, terkenal sulit bereproduksi. Ia hanya bertelur sekali dalam kurun waktu yang sangat lama.
Menurut dia, pemerintah harus mulai memikirkan konservasi lingkungan. “Kita seringkali tidak sadar, bahwa berbagai jenis burung sudah mulai punah,” kata dia.
Tio, salah seorang penduduk Kutabawa Serang Purbalingga mengatakan, banyak penduduk desanya yang memasang jaring besar untuk menangkap burung. “Jaringnya berukuran 15 meter, dipasang pada pohon,” katanya.
Sekali menebar jaring, kata dia, sedikitnya 10 burung bisa terperangkap. Burung tersebut dijual kepada orang dari luar kota yang sengaja datang ke desa itu.
Untuk melakukan ekpedisi ini, Tim juga harus membawa sebuah genset yang cukup berat. Genset ini digunakan sebagai bahan energy untuk baterai kamera yang digunakan untuk mendokumentasikan semua flora dan fauna yang ditemui. Bayangkan, genset dengan berat sekitar 25 kilogram harus digotong melewati jalan terjal nan curam menuju puncak gunung. “Memang memperlambat perjalanan, tapi demi kesuksesan pendataan, genset ini harus dibawa,” kata Davi, Ketua Pecinta Alam Pranaya.
Davi mengatakan, pendataan itu dilakukan oleh siswa SMAN 1 Kutasari terbuka sebagai bukti kepada pemerintah bahwa SMA terbuka pun mampu melakukan kegiatan yang positif. “Kabarnya sekolah terbuka akan ditiadakan, padahal banyak anak dari keluarga tidak mampu yang bersekolah di sini,” kata dia.
Siswa dari SMA terbuka ini memang bersekolah pada siang hari, bergantian dengan siswa dari sekolah regular. Banyak dari siswa yang pagi harinya harus bekerja terlebih dahulu sebelum sore harinya bersekolah.
Topan Dwiono Purbaya, Wakil Kepala Sekolah SMAN 1 Kutasari Terbuka mengatakan, siswa dari SMA terbuka juga bisa berprestasi. “Mereka ingin menunjukan bahwa dengan kegiatan pecinta alam, siswa bisa memberikan sumbangsih pada pemerintahan,” katanya.
Pendataan tersebut, kata dia. Nantinya akan diberikan kepada pemerintah sebagai data base keragaman hayati Gunung Slamet. Data tersebut menurutnya penting untuk menyusun kebijakan berbasis konservasi.
ARIS ANDRIANTO
Mengisi Liburan untuk Belajar Menjadi Porter
Jalan menanjak nan curam dilewatinya dengan mudah. Kaki-kaki kecil itu, setengah berlari meniti satu demi satu bongkah batu sebelum mencapai puncak Gunung Slamet. Tak ada rasa takut di benak empat bocah itu. “Berangkat dari bawah jam enam pagi, sampai di puncak 11 siang,” kata Iman, 8 tahun, salah satu pendaki kecil dari Desa Kutabawa Karangreja Purbalingga, Rabu (20/6).
Siang itu, Iman bersama tiga rekannya yang lain yakni, Slamet, Arif, dan Agus. Mereka semuanya kini sedang duduk di bangku Sekolah Dasar kelas dua. Liburan panjang membuat mereka ingin naik ke Puncak Slamet. Kebetulan, desa mereka berada paling ujung di lereng Gunung Slamet. Di desa itulah, pendaki harus mendaftarkan diri agar bisa mendaki gunung itu.
Slamet, sehari sebelumnya gagal mendaki sampai puncak. Ia hanya membawa sebotol air mineral ukuran setengah liter. “Kali ini saya tidak boleh gagal,” kata Slamet yang ditemui di batas vegetasi hutan dengan puncak Gunung Slamet.
Mereka berempat mempunyai cita-cita sederhana. Kelak jika sudah besar nanti, mereka ingin menjadi porter atau pendamping pendaki. Saat ini, upah untuk menjadi seorang porter seharinya mencapai Rp 50 ribu. Penghasilan yang cukup lumayan sebagai sampingan di tengah-tengah pekerjaan mereka sebagai petani dan peternak.
Tio, salah seorang penduduk Desa Kutabawa mengatakan, persaingan menjadi seorang porter cukup ketat. “Pengetahuan melayani pendaki harus paham, juga pendidikan SAR juga harus menguasai,” katanya.
Menjadi porter, kata Tio, bukan hanya sebatas melayani pendaki. Tapi, kata dia, menjadi porter adalah juga menjaga Gunung Slamet, tempat selama ini mereka tinggal. Seringkali mereka harus membawa sampah plastik yang ditinggalkan oleh pendaki. Selain itu, mereka juga menjadi pengingat bagi pendaki yang membuat api unggun di musim kemarau. “Seringkali kebakaran disebabkan oleh kelalaian pendaki yang lupa mematikan api unggunnya,” kata dia.
0 komentar:
Posting Komentar