PURWOKERTO - Populasi Elang Jawa yang hanya ada di Pulau Jawa berkurang 11 pasang setiap tahunnya. Berkurangnya populasi satwa bernama latin Nisaetus Bartelsi tersebut disebabkan semakin sempitnya habitat dan perburuan liar.
"Padahal setiap pasangan Elang Jawa membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun untuk 1 butir telur. Sedangkan untuk berkembang menjadi dewasa dibutuhkan waktu minimal 3 tahun, itu pun dengan catatan daerah 75 persen lingkungan habitatnya masih berupa tutupan hutan yang masih bagus," katanya sebelum kegiatan pelepasan Elang Jawa dari kandang habituasi Desa Melung Kecamatan Kedungbanteng Banyumas, Rabu (14/11).
Selain itu, faktor perburuan liar juga menjadi penyebab serius menyusutnya populasi Elang Jawa. Perburuan meningkat karena harga Elang Jawa yang menggiurkan di pasar gelap. "Harga di pasar gelap mencapai Rp 2 juta- Rp 3 juta per ekornya," katanya.
Pendiri Biodiversity Society Purwokerto, Hariyawan Agung Wahyudi merilis di Hulu Sungai Banjaran Banyumas atau wilayah lereng selatan Gunung Slamet saat ini menyisakan 3 pasang Elang Jawa. Jumlah tersebut mengalami penyusutan karena di tahun 2005 masih ada sekitar 5 pasang Elang Jawa dari hasil pengamatannya.
Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah wilayah Konservasi II Pemalang-Cilacap, Endy Suryo menuturkan selama ini disnyalir banyak perdagangan gelap Elang Jawa di pasaran. "Elang Jawa tidak pernah didisplay di pasaran, karena banyak pedagang yang mengetahui larangan menjual satwa langka," kata Endy.
Wakil Bupati Banyumas, Achmad Husein berjanji akan mengusulkan aturan perlindungan satwa langka di Banyumas masuk dalam regulasi kebijakan pemkab. "Kami juga akan mengampanyekan perlindungan satwa langka di beberapa komunitas masyarakat yang berada di wilayah habitat, agar masyarakat bisa teredukasi dan terinformasi dengan baik perihal menjaga satwa langka," ucapnya.
Ia mengatakan, lereng Slamet merupakan tempat terbaik untuk elang tinggal dibanding di sarang buatan sekedar untuk koleksi. Menurut dia, elang jawa merupakan spesies endemik Jawa yang saat ini masih terlihat di lereng Slamet.
Husein menambahkan, meski keberadaan seluruh jenis burung Elang telah dinyatakan dilindungi oleh pemerintah melalui Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, ia berkeinginan untuk memperkuat konservasi ekosistem Hulu Sungai Banjaran Gunung Slamet dengan mewacanakan untuk membuat Peraturan Bupati Banyumas tentang konservasi dan pelarangan perburuan spesies burung-burung eksotik yang sering diperdagangkan seperti Elang Jawa.
Masih menurut Husein, ia akan merancang peraturan bupati atau mengusulkan peraturan daerah untuk melindungi satwa liar yang masih terdapat di gunung Slamet, tak terkecuali elang jawa. “Secepatnya akan diusulkan supaya peraturan ini ada dan bisa menekan angka perburuan liar,” kata dia menegaskan.
Pelepasliaran ini sendiri banyak mendapat perhatian masyarakat setempat. Mereka selama ini mengenal elang jawa dengan sebutan dokjali.
Pernyataan Wakil Bupati tersebut didasarkan atas semakin berkurangnya populasi elang jawa di alam liar akibat perburuan dan perdagangan ilegal. Alasan khusus lainnya adalah karena Elang Jawa merupakan burung Garuda yang telah ditetapkan sebagai lambang negara melalui Keputusan Presiden RI nomor 4 tahun 1993 tentang satwa dan bunga nasional.
Setelah dilepasliarkan, elang tersebut akan terus dipantau keberadaannya. Sayangnya, elang yang dilepas belum diberi peralatan GPS sehingga pengamatan akan dilakukan secara manual.
Bagi warga Desa Melung, elang jawa lebih dikenal dengan sebutan dokjali. “Saya taunya ini dokjali yang suka menangkap tikus di sawah,” kata Sumaryatin, 60 tahun, warga Melung.
0 komentar:
Posting Komentar