Senin, 30 Januari 2012

Batuan Purba Karangsambung Menuju Kepunahan


KEBUMEN – Tanjakan demi tanjakan satu persatu dilalui. Meski jalannya cukup mulus, kelokan demi kelokan yang di beberapa titik longsor membuat kami harus tetap waspada. Pagi itu, Minggu (8/1) kami berlima mengunjungi Cagar Alam Karangsambung di Kebumen, Jawa Tengah.

Tempo ditemani Dosen Teknik Geologi Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Mochamad Aziz bersama tiga mahasiswanya, Gali Purnama Perikesit, Dwi Indriyati, dan Nuriani Handayani. Perjalanan kami dipandu oleh Defry Hastria, peneliti geologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.


Pagi itu, kami berencana menyusuri kawasan geowisata Karangsambung yang mempunyai luas 400 kilometer persegi. Membentang di tiga kabupaten yakni, Kebumen, Banjarnegara dan Wonosobo. “Tidak cukup sehari untuk mengetahui semua jenis batuan purba yang ada di sini,” ujar Mochamad Aziz, yang sesekali mengerem mendadak mobil Subaru yang kami tumpangi.

Aziz mengatakan, Karangsambung merupakan laboratorium alami untuk belajar geologi. Ribuan ahli geologi pernah merasakan tempat yang dinamakan kawah candra dimukanya mahasiswa geologi dari seluruh penjuru tanah air.

Di tengah perjalanan, kami disuguhi pemandangan tak biasa. Di antara bebukitan batuan purba, ada salah satu bukit yang terlihat paling beda dibanding yang lainnya. Masyarakat setempat menamakannya Gunung Parang. “Gunung itu sudah lama ditambang oleh masyarakat setempat,” ujar Defry, peneliti LIPI kepada Tempo.

Defry mengatakan, lokasi bukit yang berjarak sekitar satu kilometer dari Kampus Geologi LIPI itu sudah ditambang sejak lama oleh masyarakat setempat. Pemerintah hanya mampu membeli beberapa meter dari bukit itu untuk keperluan penelitian.

Ada sebuah cerita legenda di masyarakat tentang bukit itu. Masyarakat setempat sendiri menamakannya Gunung Wurung. Menurut cerita  turun-temurun di masyarakat di sekitar bukit itu, Gunung Parang dibangun oleh para dewa.

Gunung itu  batal diselesaikan para dewa  karena “kepergok” gadis yang sedang mencuci beras di tepi Sungai Lok Ulo. Wurung dalam bahasa jawa berarti batal. 

Sementara dari sisi geologi, kata Defry, Gunung Parang adalah sebuah  intrusi, yaitu magma (bahan gunung api) yang menerobos menuju ke permukaan namun keburu membeku sebelum muncul ke permukaan untuk menjadi gunung api.  Sejalan dengan waktu, tanah di atas intrusi ini tererosi, memunculkan Gunung Wurung. Kemiripan cerita rakyat dengan  ilmu geologi, Gunung Wurung adalah batuan intrusi (yang batal menjadi gunung api). “Di balik Gunung Parang, penambangan yang lebih besar terus berlangsung. Bahkan hampir sebagian gunung sudah dikepras,” katanya.

Parno, 56 tahun, salah satu pemilik bukit itu mengatakan, dirinya terpaksa mengepras bukit karena desakan ekonomi keluarga. “Banyak yang nyari untuk fondasi bangunan,” katanya.

Dalam sehari, rata-rata ia mendapatkan satu rit batuan jenis diabas itu. Satu rit dijual dengan harga minimal Rp 100 ribu.

Dari pengamatan Tempo, penambangan yang dilakukan setiap hari itu kian lebar saja wilayahnya. Bukit batuan itu bahkan kadang diledakan dengan bahan peledak. Batu besar digunakan untuk fondasi, batu belah kecil untuk krokos jalan, dan batu split atau kericak untuk pengaspalan. Lengkap sudah ancaman bagi kawasan cagar alam geologi Karangsambung tersebut.

Tak hanya itu ancaman kerusakan cagar geologi berlangsung. Di Desa Totogan, malah ada penambangan marmer yang berlangsung lama. Demikian pula di Desa Pucangan, batuan serpentinit yang unik berwarna merah, biru, dan hitam, yang semestinya tak boleh diambil, oleh penduduk justru dimanfaatkan untuk dijual menjadi ornamen bagi perumahan. Batu itu kategori langka, sehingga harganya pun cukup mahal.

Tiap pekan, dua sampai tiga truk mengangkut batu-batu unik Kebumen itu, yang kemudian dipasarkan ke kompleks perumahan baru di Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Ada yang untuk dinding, lantai, ada pula yang untuk ornamen rumah. Bahkan, kini ada pabrik pengolah batu dinding di Tanuraksan, dekat dengan Kota Kebumen.

Selain penambanga langsung, penambangan pasir di Sungai Luk Ulo yang membelah kawasan Karangsambung juga kondisinya cukup memprihatinkan. Penambang menggunakan alat penyedot pasir sehingga arus menjadi sangat deras saat hujan turun dan menyebabkan banjir. “Pelapukan batuan purba karena erosi juga semakin menyebabkan kepunahan beberapa jenis batuan,” kata Defry.

Ia menyebutkan, beberapa jenis batuan terancam kepunahan karena faktor alami. Seperti formasi batuan selang seling rijang-gamping merah di Bukit Wagir Sambeng. Batuan yang bentuknya seperti kue lapis ini cukup menawan dipandang mata. Pada dokumen foto tahun 1970, nampak formasi batuannya masih nampak luas, namun akibat pelapukan secara alami, batuan itu kini nampak kurus dan menyempit. “Batuan ini merupakan batuan endapan laut dalam yang terdapat di lantai samudera purba,” kata Aziz menjelaskan.

Batuan yang hampir punah lainnya, yakni batu gamping Nummulitis. Batuan ini digali untuk koleksi batu hias. Batuan yang terbentuk 50 juta tahun lalu itu, kini bahkan hanya bisa dilihat di Kampus LIPI.

Mengapa batuan itu harus diselamatkan?

Kepala Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yoga Kumoro  mengatakan, cagar alam geologi diKarangsambung merupakan cagar alam yang sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 2817 K/40/MEM/2006. “Bahkan Presiden SBY sendiri yang mencanangkan cagar ala mini,” kata Yugo yang ditemui Tempo di Kampus LIPI Karangsambung.

Ia menyebutkan, luas kawasan Karangsambung mencapai 400 kilometer persegi. Mencakup tiga  wilayah kabupaten yakni Kebumen, Banjarnegara dan Wonosobo.

Menurutnya, Karangsambung bisa menceritakan evolusi bumi Indonesia dan Asia Tenggara. Saat ini tercatat ada 33 lokasi dengan jenis batuan yang berbeda. Di kawasan itu juga terdapat jenis batuan paling tua, yakni sekis mika.

Koleksi batuan Karangsambung bahkan lebih tua dibandingkan batuan di Bayat Klaten Selatan dan Ciletuh Sukabumi Selatan. Bahkan, semua jenis batuan mulai dari masa pratersier hingga saat ini, ada semua di kawasan itu.

Mochamad Aziz menjelaskan, Sekis Mika merupakan jenis batuan metamorf yang berasal dari lempung. Lempung tersebut mendapat tekanan dan temperature bumi. Waktu pembentukannya sekitar 60-120 juta tahun lalu. “Ini batuan alas pembentuk pulau Jawa. Jadi ini memang merupakan batuan tertua dengan umur sekitar 171 juta tahun,” katanya.

Ia menambahkan, Karangsambung merupakan tempat kegiatan kegiatan pemetaan standar geologi. Semua jenis batuan lengkap ada disini. Mulai dari batuan beku, sedimen, dan metamorf.

Karangsambung juga merupakan kawah candradimukanya mahasiswa geologi. Semua mahasiswa geologi mulai dari ITB, UPN, UGM, Itenas, Unpad, Unsoed dan perguruan tinggi yang memilki fakultas geologi pasti mengirimkan mahasiswanya ke tempat ini. “Satu bulan mereka berada di sini,” kata Defry.

Kampus LIPI Karangsambung didirikan tahun 1964. Sejak didirikan, ribuan ahli geologi sudah menempa kerasanya batuan di tempat itu. “Karangsambung juga bisa merefleksikan tumbukan tektonik pada jaman dulu. Di sini ada bukti nyata bahwa tumbukan lempeng sanudera Hindia dengan lempeng benua Asia,” katanya.

Yoga mengatakan, agar kerusakan tak semakin parah, ia mengaku sudah menggandeng tokoh masyarakat agar ikut menjaga koleksi batuan di tempat itu. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat juga terus dilakukan setiap tahun agar kerusakan tidak semakin parah. Pemerintah juga diharapkan untuk terus membeli lahan milik masyarakat agar bisa dijadikan laboratorium alam yang paling lengkap di dunia.

Selain itu, mahasiswa yang sedang melakukan praktek lapangan juga dilarang keras untuk membawa batuan sebagai cindera mata. “Biasanya mahasiswa belum puas kalau praktek tak membawa contoh batuan. Nanti kalau dibiarkan, adik-adik mereka akan penelitian apa,” ujarnya.

ARIS ANDRIANTO


Sejarah Karangsambung dan Kisah Orang Belanda
Panorama Karangsambung tak hanya eksotik dengan batuan besar seperti di film Kunfu Panda. Karangsambung layaknya amfiteater raksasa dengan kepungan bukit bebatuan purba yang dibelah oleh Sungai Luk Ulo. Sebuah sungai yang meliuk-liuk seperti ulo atau ular besar.

Kawasan cagar alam geologi terlengkap di dunia ini, terletak 19 kilometer dari Kebumen. Dari kota Bandung, Karangsambung dapat dicapai selama 7 jam dengan  kendaraan roda empat atau 6 jam dengan kereta api, menempuh jarak kurang lebih 350 km. Sedangkan dari Kota Yogyakarta, Karangsambung hanya berjarak 120 km dan dapat ditempuh selama 3 jam.

Dosen Geologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Mochamad Aziz mengatakan, Karangsambung merupakan daerah Melange atau kawasan dengan jenis batuan yang campur aduk dari berbagai tingkatan jaman. “Batuan dari jaman kapur pra tersier hingga yang paling muda, ada di sini,” kata dia.

Batuan pembentuk lempeng benua dan samudera yang bertumbuk dalam proses tektonik juga bisa ditemukan dengan mudah di tempat itu. Bahannya tentu saja berasal dari dalam perut bumi sendiri. Keberadaan batuan itu bisa dijelaskan dengan teori tektonik lempeng.

Kepala Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung, Yugo Kumoro menyebutkan, penemu pertama batuan tua di Karangsambung yakni oleh peneliti geologi Belanda, R.D.M. Verbeek   dan R. Fennema pada 1881. “Merekalah yang pertema menemukan batuan tanah dasar pulau Jawa,” katanya.

Mereka juga menemukan fosil Nummulites dan Orbitulina di Sungai Luk Ulo. Dari penemuan awal itu, kelak 100 tahun lagi batuan itu baru diukur umurnya. “Setelah diukur menunjukan umur 117 juta tahun,” imbuhnya.

Seabad setelah penemuan bersejarah itu, E.A. Harloff  melakukan pemetaan pertama kali kawasan itu. Baru setelah Perang Dunia Kedua daerah ini kembali menjadi objek penelitian. “Sedangkan Geologist Indonesia yang pertama kali mengulas Karangsambung adalah Sukendar Asikin dengan menggunakan teori Tektonik Lempeng,” ujarnya.

Saat ini, hampir setiap tahun mahasiswa geologi dari berbagai universitas melakukan praktek lapangan di kawasan itu selama satu bulan. Mereka melakukan pemetaan dasar geologi yang nantinya sangat berguna dalam berbagai disiplin pekerjaan. “Tidak ada yang selengkap batuan di Karangsambung,” ujar Dwi Indriyati, mahasiswa semester akhir Fakultas Geologi Unsoed.

ARIS ANDRIANTO

Tempat yang Direkomendasikan untuk Dikunjungi
Waktu sehari tak akan cukup untuk mengunjungi 33 titik kawasan Karangsambung dengan luas 400 kilometer persegi itu. Wisata minat khusus geologi ini akan tetap memikat karena banyak spot unik yang bisa dikunjungi.

Devry Hastri menyebutkan, kawasan Karangsambung dalam skala besar terbagi menjadi dua bagian besar. Dua kawasan tersebut merupakan perbukitan batuan yang dipisahkan oleh Sungai Luk Ulo. “Perbukitan di Utara Sungai, usia batuannya lebih tua. Banyak batuan pratersier di situ. Sementara di sebelah selatan sungai, banyak batuan lebih muda mulai dari tersier hingga miosen,” katanya.

Berikut ini beberapa spot menarik dan layak untuk dikunjungi.
Kampus Karangsambung, di lokasi yang didirikan tahun 1964 ini banyak terdapat fasilitas. Selain rumah untuk tamu, juga ada penginapan untuk mahasiswa yang sedang penelitian. Di kompleks ini, ada museum dengan koleksi batuan khas Karangsambung. Berbagai bongkah batuan langka juga bisa dijumpai di tempat ini.

Di kawasan Karangsambung terdapat banyak lokasi yang menunjukan batuan yang pada dasarnya merupakan batuan dasar samudera. Mengapa sekarang berada di permukaan? Hal ini dikarenakan evolusi kulit bumi jutaan tahun yang lalu. Lokasi lokasi ini selanjutnya di sebut singkapan.

Beberapa Lokasi Singkapan tersebut adalah sebagai berikut:

Kali Muncar
Untuk mencapai tempat ini, diperlukan perjuangan kecil atau tepatnya berjalan sekitar 15 menit menusuri pematang sawah. Pada dinding kali Muncar, terlihat batuan sedimen berwarna merah memanjang sekitar 100 meter.

Formasi itu jika dilihat seperti kelir atau layar pertunjukan wayang dengan batuan beku pada bagian atasnya laksana gong dan kenong. Masyarakat setempat menyebutnya watu kelir. Tempo menyebutnya, batuan kue lapis.

Bentuknya memang seperti kue lapis, karena formasi bataunnya selang-seling antara rijang dengan gamping merah. Mochamad Aziz mengatakan, batuan rijang terbentuk di kedalaman 4000 meter di bawah permukaan laut, sementara gamping merah terbentuk di bawah kedalaman 4000 meter. “Karena pengaruh tektonik yang naik turun sehingga terbentuklah formasi selang-seling ini,” katanya.

Kali Brengkok
Di tempat ini, batuan tertua di Jawa bisa ditemukan. Namanya batuan Sekis Mika dengan umur mencapai 117 juta tahun. Batuannya berwarna abu-abu cerah dan tampak mengkilap jika terkena sinar matahari. Anak-anak setempat biasa menggerusnya dan menjadikannya bedak agar nampak mengkilap.

Warna putih metalik berlembar pada batuan adalah mineral mika, sedangkan lapisan-lapisan tipis merupakan penjajaran mineral karena pengaruh tekanan yang sangat kuat pada saat proses perubahan batuan asal menjadi Sekis Mika di dalam perut bumi. Batuan ini merupakan bagian alas pulau Jawa juga merupakan batuan dari lempeng samudera Hindia.

Totogan
Di lokasi ini akan banyak ditemuai formasi batuan marmer. Usianya mencapai lebih dari 65 juta tahun yang lalu. Di bagian kiri terdapat batuan tersier dan disebelah kanan terdapat morfologi pra tersier dicirikan oleh bukit yang menyendiri tidak teratur, berbentuk prismatik, batuan pada morfologi ini di kenal sebagai melange seboro. terlihat tiga bukit berbentuk prismatik dengan susunan batuan dan lingkungan pembentukannya berbeda, G. Gliwang, tersusun oleh sekis dan sedimen pelitik.

Pucangan
Untuk mencapai tempat ini tidaklah terlalu sulit, karena berada di tepi jalan persis. Tempatnya cukup mencolok karena seperti bukit dengan warna yang berbeda dari sekelilingnya. Batuan berwarna hijau gelap mengkilap adalah Serpentinit. Serpentinit merupakan batuan ubahan dari batuan ultra basa berwarna gelap hasil pembekuan magama pada kerak samudera Terjadinya batuan ini melalui dua fase, fase pertama terjadi saat batuan ini bersentuhan dengan lingkungan laut, sedangkan fase kedua terjadi pada saat masuk zona tunjaman dan terangkat ke permukaan bumi.

Wagirsambeng
Bukit Wagirsambeng, begitulah masyarakat menamakannya. Dari Puncak bukit ini kita dapat menyaksikan kenampakan amphiteater yang dibatasi oleh rangkaian perbukitan yang berbentuk tapal kuda. Sungai Luk Ulo yang meliuk liuk bagaikan ular yang sedang berjalan, sangat jelas terlihat. Formasi ini terbentuk pada jaman kapur atas.

Kali Mandala
Kali Mandala merupakan salah satu anak sungai Kali Luk Ulo, dan mengalir ke Sungai Luk Ulo mengikuti zona sesar / patahan berarah timurlaut – baratdaya. Kali Mandala ini merupakan batas pemisah antara batuan pra-tersier di sebelah utara dengan batuan tersier di sebelah selatan. Pada lokasi ini juga dapat dijumpai batuan beku basalt berupa lava bantal yang sudah mengalami breksiasi dan nampak rekahan-rekahan (joint).

Bukit Sipako
Sekitar 300 m ke arah utara tepatnya dari kaki bukit Sipako, terdapat singkapan blok rijang-batugamping merah yang menunjukan kontak sesar dengan fillit di bagian selatan dan dengan greywacke di bagian utara.

Pada kaki bukit Sipako terdapat singkapan fillit-grafit yeng telah mengalami perlipatan. Batuan ini diinterpretasikan sebagai produk selama proses subduksi yang mentransfer sedimen palung ke dalam metamorfosa derajat rendah. Singkapan ini telah mengalami deformasi lanjut yang ditunjukan oleh sesar-sesar naik, jalur milonit, dan fault gouge.

Gunung Parang
Gunung Parang yang terletak sekitar 300 m ke utara dari UPT BIKK Karangsambung LIPI terdapat singkapan batuan beku diabas. Batuan ini diinterpretasikan merupakan batuan intrusi, dan menunjukan struktur kekar tiang (collumnar joint) yang mana merupakan hasil gaya kontraksi pada saat pembekuan magma. Pada daerah ini telah dilakukan konservasi sebagian dan sebagian lagi telah dilakukan penambangan. Apabila penambangan ini terus dilakukan dikhawatirkan batuan diabas akan habis.

Batugamping Numulites
Pada lokasi ini dijumpai singkapan batugamping Nummulites yang banyak mengandung fosil foraminifera besar (Nummulites dan Discocyclina) berwarna krem. Batuan ini terbentuk pada lingkungan laut dangkal dan berumur Eosen. Keterdapatan batuan di lokasi ini diperkirakan akibat proses pelongsoran skala besar.

Sungai Luk Ulo
Lokasi ini berjarak sekitar 200 m ke arah barat dari UPT BIKK Karangsambung – LIPI, berada di tepi Sungai Luk Ulo, kaki bukit Pesanggrahan. Pada lokasi ini dijumpai batuan sedimen konglomerat berwarna abu-abu cerah dengan fragmen bervariasi (kuarsa, batupasir, rijang, batuan beku, dan batuan metamorf) yang tersemen sangat kuat. Konglomerat ini merupakan bongkah sangat besar hasil pelongsoran.

Kali Cacaban
Pada sepanjang Kali Cacaban dapat disaksikan singkapan batulempung bersisik yang merupakan batuan sedimen pada zone tektonik kuat dengan bongkah-bongkah batupasir dan rijang yang sering memperlihatkan struktur ikan (fish structure).

Bukit Jatibungkus
Lokasi ini berada sekitar 200 m ke arah timur dari jalan Karangsambung – Kebumen. Bukit Jatibungkus merupakan bongkahan raksasa batugamping terumbu berukuran sekitar 350 m x 150 m dengan tinggi 40 m. Batuan ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal dam keterdapatannya pada lokasi ini kaibat proses pelengseran gaya berat. Pada bukit ini juga dijumpai gua-gua seperti Gua Langse di sebelah barat dan Gua Sikepul dan Gua Silodong di sebelah timur.

Bukit Waturanda
Pada lokasi ini dijumpai singkapan batuan berupa perselingan batupasir dengan breksi vulkanik pada Formasi Waturanda yang nampak sangat tebal dan miring ke arah selatan. Batuan ini merupakan hasil dari pelongsoran berulang-ulang material vulkanik.

Pemandian Air Panas Krakal
Pemandian air panas Krakal terletak di desa Krakal Kecamatan Alian, 11 km timur laut Kota Kebumen. Selain merupakan tempat pemandian untuk rileks, air hangat di pemandian krakal dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kulit seperti gatal-gatal, kudis dan juga dapat menyembuhkan rematik.




































2 komentar: