Kamis, 29 November 2012

Sudiyanto dan Kisah tentang Air Kehidupan

Hujan turun dengan derasnya, Senin (26/11). Di sebuah
desa paling atas di lereng Gunung Slamet itu, air seperti tumpah dari
langit. Deras mengalir hingga jauh. Meluncur sampai anak-anak sungai
yang terjalin hingga muaranya yang terakhir, Samudera Indonesia. “Air
di sini hanya numpang lewat, tak bisa dimanfaatkan oleh warga sini,”
ujar Sudiyanto, 45 tahun, warga Grumbul Glempang, Desa Kotayasa,
Kecamatan Sumbang, Banyumas.


Rumahnya berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Meski
berada di pegunungan, dan air cukup melimpah, ia dan ribuan penduduk
lainnya tak bisa memanfaatkan air itu.

Meski sudah digali hingga belasan meter, air sumur tak bisa keluar di
daerah itu. Setiap menggali sumur, ia selalu mendapati bebatuan besar
sisa vulkanik menghalangi cangkulnya. Alhasil, tak ada sumur di desa
itu.

Penduduk pun terpaksa pergi ke sumber mata air yang banyak terdapat di
desa itu. Hanya saja letaknya cukup jauh dan berada di bawah desa.
Prihatin dengan kondisi itu, Sudiyanto pun berpikir keras agar bisa
mengalirkan air di sungai yang ada di daerah yang lebih rendah ke
desanya. “Inspirasi itu muncul pada suatu sore di akhir Mei 1998,”
kata dia membuka kembali memori masa lalunya.

Sambil ngemil kacang goreng yang tersisa setengah toples itu,
Sudiyanto menceritakan kisahnya tentang upaya membuat pompa air tenaga
air atau yang dikenal dengan hydram. Inspirasinya ia dapatkan dari
buku koleksi perpustakaan desa, tak sengaja ia menemukan sebuah buku
berjudul, Pompa Air Tenaga Air.

 Pompa air dalam buku tersebut mengadopsi teknologi Belanda. Yanto,
begitu Sudiyanto biasa disapa, tergerak untuk membuat pompa air yang
ada di buku tersebut.

 Dalam buku tersebut, air yang dipompa hanya bisa naik setinggi 7
meter. Padahal jarak antara sumber mata air dengan perkampungan
penduduk di tempat tersebut lebih dari seratusan meter.

Namun Yanto tak menyerah. Dengan modal seadanya, ia tetap melanjutkan
proyek tersebut.

Untuk mengatasi kekurangan modal, ia meminjam uang Rp 5 juta dari
saudara-saudaranya. Uang tersebut diperolehnya dari Narkum sebesar Rp
2,5 juta, hasil dari menjual Padi. Sedangkan sisanya diperoleh dari
kakaknya yang lain, Warno, dari hasil menjual cengkeh.

Dari uang tersebut, ia gunakan untuk membeli pipa dan perlengkapan
lainnya. Awal percobaannya, langsung gagal. Air tak bisa naik. Namun,
ia tak putus asa.

Dicobanya lagi alat tersebut, kali ini berhasil. Air bisa naik hingga
ketinggian 18 meter. Total percobaanya hingga ketinggian 18 meter, ia
gagal sebanyak 10 kali.

Setelah gagal 10 kali, tepatnya bulan September 1999, sebuah
ketidaksengajaan percobaan membuahkan hasil. Hydram buatannya tak
sengaja bocor. "Sebenarnya itu sebuah kecelakaan," kata Yanto.

Namun dari bocornya Hydram tersebut, air yang mengalir justru semakin
besar. Lantas ia pun membuat modifikasi lagi. Hydram ia sengaja
bocorkan dengan membuat lubang dari sebuah paku.

Sadar air yang mengalir semakin deras, ia pun membuat sambungan air
dengan pipa hingga depan rumahnya. Jarak antara sumber air dengan
rumahnya sendiri sekitar 315 meter. "Saya langsung berteriak seperti
orang gila, ternyata percobaan saya tak sia-sia," kata dia sambil
terus membuka kulit kacang.

 Akhirnya, setelah dua tahun ia melakukan percobaan tersebut, usahanya
berhasil. Awalnya, ia hanya menggunakan air tersebut untuk
keluarganya. Setelah itu, tetangganya yang dulu mencemoohnya ikut
menikmati air tersebut.

Bahkan, ia membangun sebuah bak penampungan yang bisa digunakan warga
untuk memperoleh air. Bak tersebut sangat berguna bagi warga saat
kemarau datang.

Selain itu, setiap mengambil air di sumber air, mereka harus ngantri
selama satu jam. Padahal, di desa tersebut hanya ada 3 mata air yang
digunakan oleh ratusan warga.

Niatan Yanto untuk mengatasi kesulitan air bukannya tanpa cobaan.
Banyak cemoohan yang ia dapat. Terutama dari tetangganya. "Mereka
menyebut saya gila," ujarnya.

Bahkan ada yang mau meminum air kencing Yanto, jika percobaan itu
berhasil. Selain cemoohan tetangga, ia juga dihadapkan pada cerita
mistik yang beredar di kalangan tetangga. Sebabnya, warga setempat
meyakini kalau air sumber yang digunakan Yanto mempunyai tuah jelek.

Barangsiapa meminum air dari sumber yang dinamakan Tuk Begu, maka
orang tersebut bisa kehilangan suaranya dan tak bisa berbicara. Begu
dalam bahasa Indonesia berarti, tak bisa berbicara.

Yanto tak patah arang. Dengan bantuan tetua adat setempat yang bernama
Sandireja, warga pun percaya kalau air sumber tersebut boleh
digunakan. "Saya harus berpura-pura bertapa dengan Sandirejo di tempat
tersebut agar warga percaya," ujarnya.

Selain bertapa. Yanto juga membeli sebuah cincin yang dibuang di
tempat tersebut. Hal itu ia lakukan agar warga benar-benar percaya
kalau air tersebut bisa dikonsumsi.

Selang beberapa tahun, tepatnya tahun 2005, air sumber yang sekarang
dinamakan tuk Sladan, dibeli oleh Yanto. Yanto membelinya dari
Partinah pemilik tanah tersebut. Uang untuk membeli tanah Partinah
berasal dari hadiah kompetsi IDM yang diikutinya sebesar Rp 200 juta.

Saat ini ia memimpin sebuah paguyuban di desanya yang diberi nama,
Paguyuban Masyarakat Pendamba Air Bersih. Anggotanya sudah mencapai
900 orang. Setiap bulannya, setiap anggota ditarik iuran Rp 2.500
untuk biaya pemeliharaan Hydram. Tentu jauh dari tarif berlangganan
PDAM.

Cara Kerja Hydram
Pompa air tenaga air karya Sudiyanto ini mampu meyemburkan air hingga
mencapai ketinggian ratusan meter. Caranya dengan menurunkan air dari
ketinggian 5 meter lalu disemprotkan kembali dengan alat temuannya
Hydrolic Ram (Hydram) tanpa bantuan bahan bakar minyak maupun listrik.

Alat ini sangat cocok digunakan untuk wilayah di dataran tinggi dengan
sumber air berada di dataran rendah. Ide Hydram juga karena ksulitan
warga mendapatkan air bersih yang letaknya berada di daerah lembah.

Ada beberapa bagian dalam satu unit pompa air. Bagian pertama adalah
bak penampungan untuk menampung air dari sumber mata air.

Dari bak tersebut, kemudian dialirkan ke daerah yang lebih rendah
dengan sebuah pipa. Air dari bak penampungan tersebut kemudian
ditampung lagi di sebuah penampungan yang tingginya 5 meter dari
permukaan tanah.

Dengan kemiringan tertentu, air dialirkan ke Hydram melalui sebuah
pipa. Setelah masuk ke Hydram, air didorong ke atas atau tempat
penampungan air yang berada di sekitar perkampungan penduduk.

Air kemudian dibagi dengan sebuah alat, dan dialirkan ke rumah-rumah penduduk.

Yanto menjelaskan, prinsip kerja pompa air adalah memanfaatkan daya
dorong air dari ketinggian tertentu untuk menaikkan kembali air
tersebut. Kemiringan antara air turun, pompa, dan air naik juga
menjadi factor penting. "Ini yang saya belum tahu rumus fisikanya,"
katanya.
Hydram sendiri dibuat dari pipa galvins. Terdiri dari pipa input
(tempat air masuk), pompa, dan pipa output.

Di dalam pompa (yang berbentuk tabung), ada sebuah klep yang terbuat
dari potongan ban bekas yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi udara.
Komposisi yang pas antara udara dan air inilah yang menjadikan air
bisa terdorong ke atas.

Yanto mengatakan, semakin terjal atau semakin tinggi air dialirkan,
maka akan semakin kuat pula daya dorongnya.

Berkat temuannya tersebut, Yanto diganjar sejumlah penghargaan. Di
dinding rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu itu, ia tampak
berfoto bersam dengan Presiden SBY. Uang dari hasil penghargaan itu,
ia gunakan untuk membangun 6 unit pompa yang ia bagikan kepada
tetangganya. Selain itu, ia juga berencana untuk membangun bengkel
sendiri untuk membuat pompa.

Temuan Baru untuk Jokowi
Selain membuat Hydram, saat ini Sudiyanto juga sedang membuat alat
pompa baru bernama Tabung Vacum. “Alat ini untuk mengalirkan air dari
tempat yang datar atau genangan air,” katanya.

Dengan memanfaatkan konsep tabung hampa, alat ini dimaksudkan untuk
mengalirkan air dari tempat yang datar ke tempat yang tinggi. Berbeda
dengan Hydram yang mensyaratkan adanya luncuran air agar alatnya bisa
bekerja.

Menurut dia, Tabung Vacum cocok digunakan untuk mengalirkan air dari
danau atau bisa mengurangi genangan banjir seperti di Jakarta. Seperti
halnya Hydram, Tabung Vacum juga tidak menggunakan listrik dalam
pengoperasiannya. “Nanti kalau sudah selesai, akan saya berikan ke Pak
Jokowi agar bisa mengurangi banjir di Jakarta,” katanya.

Meski hanya lulusan MAN, ia yang gemar utak-atik mesin itu,
mentargetkan Tabung Vacum buatannya bisa selesai tahun depan. Ia
memperkirakan, alat tersebut produksinya bisa mencapai Rp 7,5 juta.

Saat ini, kata dia, ia memimpikan kelak membuat desa wisata teknologi
air. Selain Hydram dan Tabung Vacum, ia kini juga sedang membuat
pembangkit listrik tenaga mikrohidro. “Nantinya wisatawan dan pelajar
bisa belajar segala hal tentang air dan manfaatnya, termasuk pelajaran
tentang betapa pentingnya air bagi kehidupan,” katanya.

4 komentar:

  1. Bolehkah saya minta gambar skema pompa tsb

    BalasHapus
  2. Apa bisa kontak dengan Sudiyanto yang membuat pompa air dengan tenaga air?

    BalasHapus
  3. Untuk meningkatkan kinerja pompa dapat dibuatkan katup pembagi tekanan.http://berbagiide-idebaru.blogspot.com/2012/03/cara-meningkatkan-kinerja-pompa-hidram.html

    BalasHapus
  4. bagaimana saya bisa hubungi pak Sudiyanto, kami di desa nyari kalbar kesulitan air,sedang 200an dibawah ada aliran sungai, mohon advis dari pak Sudiyanto. Trims

    BalasHapus