Rabu, 28 November 2012

Seribu Tenong dan 11 Ribu Takir untuk Keselamatan


Nasidah, 45 tahun, terpekur khidmat. Mulutnya komat-kamit
tak henti memanjatkan doa. Di depannya, tenong miliknya tertata
berbaris dengan tenong milik warga Desa Somakaton Kecamatan Somagede
Banyumas lainnya. “Sudah ratusan tahun kami melakukannya,” kata dia,
Selasa (27/11).


Tenong atau semacam bakul dari anyaman bambu diisi oleh Nasidah dengan
12 bungkus takir atau makanan. Makanan lengkap dengan isi nasi dan
lauknya itu dibungkus dengan daun pisang. Setiap tenong milik penduduk
berbeda-beda isinya.

Ia mengatakan, untuk membuat satu tenong, dibutuhkan sedikitnya biaya
hingga Rp 150 ribu. Tiap penduduk berbeda pengeluaran, tergantung dari
kemampuan si pembuat tenong. Ada juga warga yang hanya membuat rujak
karena tak mampu membeli nasi lengkap dengan ubo rampe nya.

Nadas, Kepala Desa Somakaton mengatakan, penduduk desa itu berjumlah
4.000 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 1.000 orang ikut
berpartisipasi. “Ada 11 ribu takir yang nantinya saling ditukar oleh
penduduk,” katanya.

Takir sendiri berasal dari kata nata pikir, yang bermakna bahwa
manusia dalam menjalani hidup dari tahun yang lalu perlu ditata
pikirannya. Sedangkan pola pikir di tahun depannya lagi harus
diperbaiki agar bisa hidup dengan tenang dan damai.

Jaya Martono, 67 tahun, tetua adat Desa Somakaton mengatakan, tenongan
merupakan acara sedekah bumi yang sudah dilakukan selama ratusan
tahun. “Jumlah takir atau nasi bungkus dalam satu tenong harus
berjumlah 12 bungkus, itu menandakan doa selama 12 bulan atau satu
tahun,” katanya.

Tenongan, kata dia, dilakukan setiap hari Selasa Kliwon atau Anggara
Kasih dalam bulan Suro penanggalan Jawa. Menurut dia, hari itu
merupakan hari yang sacral dan dilakukan secara turun temurun.

Ia menyebutkan, ada tiga doa yang dilantunkan setiap acara itu.
Pertama doa Selamatan, doa Luta Lutu untuk menghindari bencana alam
dan doa Nel Kinel untuk keselamatan seluruh umat manusia.

Ia menambahkan, sedekah bumi merupakan bentuk tradisi untuk berbakti
kepada Sing Gawe Urip atau Tuhan. Meski dalam kondisi paceklik, mereka
diharuskan untuk mengikuti sedekah bumi ini. Setidaknya menurut
kepercayaan mereka.

0 komentar:

Posting Komentar