Senin, 19 November 2012

Menelusuri Jejak Serat Chentini Hingga Banyumas



PURWOKERTO – Apa jadinya dua maestro cross gender menari dalam satu panggung. Didik Nini Thowok, seniman serba bisa, dan Dariah, 84 tahun, penari lengger lanang terakhir yang masih hidup, Kamis (15/11) menari lengger bersama di Padepokan Payung Agung Desa Banjarsari Kecamatan Nusawungu  Cilacap. Keduanya tampak saling belajar, saling mengagumi.

Meski sudah tak muda lagi, Dariah tampak masih berenergi saat menari lengger. Dua tarian ia bawakan bersama Didik di atas panggung sederhana. “Totalitasnya masih terasa. Saya salut dengan Mbok Dariah,” kata Didik, ditemui usai pergelaran.

Didik datang bersama timnya untuk mendokumentasikan sosok Dariah. Mulai dari rumahnya, Sungai Serayu, Pendopo Sipanji dan sejumlah tempat keramat yang pernah digunakan ritual oleh Dariah.

Didik blusukan hingga Banyumas merupakan hasil perenungannya akan Serat Chentini. Sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana lengger masa lalu hidup. Serat ini juga berkisah tentang banyaknya kesenian yang diperankan oleh laki-laki, lengkap dengan latar belakang sejarahnya.

Ia mengatakan, ide untuk mendokumentasikan Lengger Dariah ini berawal dari perjalanannya di Amerika Serikat pada 20 September hingga 4 Oktober 2012. Saat menari lengger di Yale University di New Haven, Amerika Serikat, ia berjanji akan mendatangi Dariah untuk membuat film dokumenternya.

Dariah, kata Didik, merupakan representasi kesenian cross gender yang sudah ada sejak zaman Sultan Hamengkubuwono VII. Saat itu, tari Golek yang dimainkan penarinya adalah laki-laki.

Cross gender, kata dia, juga ditemukan pada serat Chentini buku kelima. Di serat itu, diceritakan tentang Cebolang yang menari lengger dengan dandanan perempuan.

Menurut dia, lengger merupakan kesenian tradisional yang adiluhung. Untuk menjadi penari lengger sebenarnya seperti Dariah, kata Didik, dibutuhkan keseriusan. Saat ini, kata dia, banyak penari lengger baru yang meninggalkan proses ritual agar bisa menjadi penari instan.

Padahal, totalitas menjadi penari lengger harus diperoleh melalui proses ritual yang berat. Selain harus puasa, penari lengger juga harus mandi di tujuh sumur yang berbeda. “Penari juga harus bersemedi di tempat khusus lengger,” katanya.

Dariah sendiri hanya bisa tersenyum melihat polah Didik yang menari lengger dengan kekonyolan yang dibuat untuk menghibur penonton. “Saya langsung klop saat ketemu Didik,” ujar Dariah yang hanya bisa berbahasa banyumasan itu.

Dariah mengaku sempat bermimpi bertemu Didik sebelum pentas itu. Ia sendiri berkeinginan untuk bisa tampil di Keraton Yogyakarta untuk menari lengger.

Budayawan Banyumas yang juga penulias novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, yang terlambat datang di pergelaran itu mengatakan, di Banyumas seni cross gender sudah sangat biasa. “Sudah sejak dulu ada. Penari menjadi wandu atau banci karena menari lengger itu banyak,” katanya.

Hanya saja saat ini gerenarasi itu sudah mulai hilang. Saat ini lebih banyak penari ronggeng yang dimainkan oleh perempuan. Lengger sendiri berasal dari kata leng dan jengger. Ia menyebutkan, kisah soal cross gender juga tertulis di History of Java kaya Sir Rafles.

Menurut dia, kesenian banyumasan hampir seluruhnya berorientasi kerakyatan. Kesenian yang tidak elitis dan bisa dinikmati oleh rakyat jelata sebagai manifestasi budaya agraris. Bukan pula kesenian yang disebut adiluhung seperti tarian Serimpi dan Gambyong yang hanya bisa dinikmati di keraton.

Rudi Lukmanto, salah satu penari lengger lanang zaman sekarang mengatakan, saat ini lengger masih menjadi tontonan yang ditunggu masyarakat Banyumas. “Saya ingin mengikuti jejak Mbok Dariah,” katanya.

Selama ini, kata dia, tidak ada yang membuat dia resah saat menari lengger. "Selama ini tidak ada yang membuat kami resah selama manggung keliling di beberapa daerah.  Bahkan, pertunjukan selalu ramai," kata pria yang kini berstatus bapak beranak satu ini.

Bahkan setelah mentas, Rudi mengaku kerap dikejar-kejar kaum pria dan wanita yang terpesona akan aksinya. Kesenian lengger yang diperankan kaum lelaki menurutnya merupakan bentuk asli kesenian tradisional Banyumas. "Kalau yang nari perempuan ya namanya ronggeng, sedangkan lengger ya penarinya laki-laki," katanya.


Dariah dan Totalitas Berkarya
Dariah lahir di desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas dengan nama Sadam, berjenis kelamin laki-laki. Ibu bernama Samini dan ayah bernama Kartameja yang hidup sebagai petani kecil. Dariah tidak dapat menyebutkan angka tahun yang pasti tahun berapa Dariah dilahirkan. Namun demikian Dariah menuturkan bahwa kakeknya pernah bercerita dirinya lahir tidak lama setelah Kongres Pemuda. Dengan demikian diperkirakan Dariah lahir pada akhir tahun 1928 atau awal tahun 1929.

Dariah kecil meskipun berjenis kelamin laki-laki, namun suka lenggak-lenggok seperti seorang lengger dan suka nyindhen atau melagukan tembang-tembang Jawa. Kegemarannya menari dan menyanyi dilakukan sambil melakukan pekerjaan apa saja.

Sebelum menjadi penari lengger, Dariah kecil merasa seperti kerasukan indang lengger. Sadam seperti dituntun oleh alam bawah sadar. Tanpa pamit dengan orang-orang tercinta dan tanpa tahu kemana tujuannya, Sadam pergi dari rumah tanpa berbekal apapun kecuali sedikit uang yang dimilikinya.

Sadam berjalan sekedar mengikuti langkah kaki. Hal yang masih diingatnya adalah berjalan ke arah timur mengikuti jalan beraspal jalur Banyumas-Banjarnegara, kemudian berbelok ke kiri ke arah Purbalingga. Di daerah Bukateja Sadam sempat berhenti dan diberi air minum oleh warga setempat.

Dariah terus berjalan entah ke mana dan entah berapa hari sudah dilewatinya, hingga akhirnya sampai di sebuah pekuburan tua. Dariah melihat banyak batu lonjong dalam posisi berdiri (menhir) dan ada sebuah arca wanita cantik terbuat dari batu. Dariah belum juga tahu di wilayah mana dirinya berada. Dariah hanya dapat memasrahkan hidup dan matinya kepada Hyang Maha Pencipta, dan memohon kalau memang ditakdirkan menjadi seorang lengger maka dirinya akan menerima dengan sepenuh hati.

Di tempat yang sebelumnya sama sekali tidak dikenalnya, Dariah sama sekali tidak berniat bertapa atau bersemadi, tetapi betapa dirinya merasa tenang dan damai, sehingga merasa betah dalam waktu berhari-hari. Dariah merasa mendapatkan perlindungan dari kekuatan magis yang tidak pernah dimengerti. Dariah tidak dapat mengingat berapa hari dan berapa malam berada di makam tua tanpa makan dan minum. Menurut Dariah peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada masa penjajahan Jepang menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia atau sekitar tahun 1944 - 1945 .

Setelah berhari-hari Dariah berada di tempat pekuburan tua yang sangat mendamaikan hatinya, selanjutnya mulai terdengar pembicaraan orang-orang yang lewat di jalan yang ada di sisi barat tempat ia bersimpuh. Dariah mulai paham bahwa selama beberapa hari ternyata dirinya berada di Panembahan Ronggeng yang merupakan tempat bagi orang memohon kepada Penguasa Alam agar dapat menjadi seorang ronggeng.

Panembahan Ronggeng merupakan tempat bersemadi bagi orang yang menginginkan dirinya menjadi ronggeng atau lengger, terdapat di desa Gandatapa, kecamatan Sumbang, kabupaten Banyumas. Dengan demikian Dariah telah berjalan mengelilingi tiga kabupaten, yaitu kabupaten Banyumas, Banjarnegara, dan Purbalingga, sebelum akhirnya kembali ke wilayah kabupaten Banyumas di lokasi Panembahan Ronggeng.

Setelah merasa puas berada di Panembahan Ronggeng, selanjutnya Dariah melanjutkan perjalanan pulang. Untuk menuju ke tempat tinggalnya di Somakaton, Dariah tidak begitu saja tahu jalan yang harus dilalui. Dariah harus banyak bertanya kepada orang yang dijumpainya dalam perjalanan. Akhirnya Dariah sampai di kota Purwokerto. Di Purwokerto Dariah membelanjakan bekal uangnya untuk membeli perlengkapan yang dibutuhkan oleh seorang lengger dalam pementasan. Dariah berambut pendek, dibelinya satu buah gelung brongsong (konde yang dilengkapi semacam ikat kepala sehingga pemakaiannya tinggal diterapkan di kepala). Dariah juga membeli kemben (kain penutup dada), sampur, kain, dan keperluan lain.

Barang-barang hasil belanjaan yang dipersiapkan untuk perlengkapan lengger lalu dibawanya pulang. Dengan berjalan kaki akhirnya Dariah sampai di Somakaton. Betapa gemparnya seluruh keluarga, kerabat dan tetangga-tetangganya demi mengetahui Dariah pulang setelah sekian lama pergi entah kemana tanpa ada seorangpun yang tahu. Sesampainya di rumah Dariah menceritakan semua yang dialami selama kepergiannya. Seluruh keluarga dan kerabat menanggapi positif semua yang terjadi. Semua kerabat menganggap bahwa semua yang telah terjadi merupakan bagian dari proses yang harus dialami oleh Dariah untuk menjadi seorang lengger. Beberapa orang yang memiliki ketrampilan bermain gamelan dikumpulkan untuk berlatih bersama-sama dengan Dariah.

Semenjak itulah Dariah menjadi seorang lengger. Menurut Dariah apa yang dialaminya itu terjadi pada masa penjajahan Jepang menjelang kemerdekaan Indonesia (antara tahun 1944 – 1945).

Kejayaan lengger bertahan hingga Gerakan 30 September 1965 meletus. Kala itu seniman tradisional menjadi kelompok sosial yang oleh rezim Orde Baru ditengarai dekat dengan komunisme. Begitu pula seniman lengger yang banyak ditangkap pemerintah.

Saat lengger dilarang, Dariah menjadi perias pengantin atau sering disebut dukun manten. Profesi yang dilakoninya hingga usia senja.

Kemaestroannya mendapat pengakuan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi anugerah kategori Maestro Seniman Tradisional pada tahun 2011. Namun, lebih dari itu, perjalanan kesenimanannya sungguh berliku. Demi seni yang begitu dicintanya, dia memilih melakoni hidup menjadi perempuan walau terlahir sebagai laki-laki.

0 komentar:

Posting Komentar