Senin, 19 November 2012

Menelusuri Jejak Perdagangan Satwa Liar di Banyumas



PURWOKERTO – Bak seorang detektif, Apris Camp, 30 tahun, tampil tak seperti biasanya. Jaket hitamnya tampak membuat perutnya terlihat lebih gendut dibanding aslinya. Di balik jaket itu, ia menyembunyikan sebuah kamera. “Tehnik standar, hanya dengan melubangi jaket untuk lubang lensa,” kata Apris, dengan muka disangar-sangarkan, Rabu (14/11).

Sehari-hari, Apris bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah instansi di Kabupaten Banyumas. Kecintaannya pada dunia satwa, membuatnya tertarik untuk menjadi seorang investigator untuk Biodiversity Society Banyumas, sebuah komunitas pemerhati konservasi di Banyumas.

Kebetulan, tampangnya yang masih belum dikenal di antara mafia perdagangan satwa, membuatnya mudah blusukan di sejumlah pasar hewan atau rumah pejabat yang gemar memelihara satwa, yang beberapa di antaranya merupakan satwa langka dan terancam punah.

Di Banyumas, kata dia, ada beberapa tempat, terutama pasar hewan yang dijadikan transaksi terbuka perdagangan satwa dilindungi. Pasar tersebut yakni, pasar burung Ajibarang, Purwokerto, Cilongok dan Purbalingga.

Ia menemukan, di pasar-pasar itu, satwa dilindungi endemik Gunung Slamet seperti Owa Jawa, beberapa jenis elang, dan beberapa burung langka, diperjualbelikan secara bebas. Harganya pun lumayan wow dan membuat ingin koprol. “Mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah,” kata dia sambil memamerkan sejumlah foto hasil bidikannya.

Menurut dia, menemukan bukti perdagangan satwa dilindungi merupakan pekerjaan yang sulit. Saat ini, para pelaku cenderung berhati-hati untuk melakukan perdagangan secara terbuka. Terutama perdagangan Elang Jawa, salah satu satwa endemik Pulau Jawa yang terancam punah, kebanyakan diperdagangan melalui pasar gelap.

Banyumas, kata dia, merupakan pemasok utama satwa dilindungi yang biasa diperjualbelikan di pasar burung Jalan Pramuka Jakarta. Selain itu, alur perdagangan satwa dilindungi memang cukup rapi dan tersembunyi sehingga jalurnya sulit dilacak.

Suatu pagi di penghujung Oktober. Karso, 29 tahun, warga Dukuh Kalipagu Desa Melung Kedung Banteng Banyumas, tampak bergegas menuju hutan lereng Gunung Slamet. Hanya membawa bekal seadanya, ia berniat menangkap burung, pekerjaan yang sudah lama ditekuninya. “Hutan Gunung Slamet merupakan surganya burung,” kata dia.

Ia mengaku biasa mencara burung hingga di ketinggian 2.500 meter di atas permukaan laut. Burung yang ditangkap pun beragam. Ada rengganis, kutilang, Cyornis banyumas, dan beberapa jenis burung lainnya. Cyornis merupakan satu-satunya burung yang ada nama Banyumas sebagai nama species burung.

Di desanya, kata dia, ada sekitar 20 orang yang mempunyai pekerjaan yang sama. Sebagai penangkap burung. Selain dengan jaring, mereka biasa menangkap dengan cara tradisional yakni dengan getah pohon nangka. Beberapa bahkan melatih burung hantu untuk disuruh berburu burung-burung kecil.

Burung hasil tangkapan tak langsung dijual ke pasar. Sudah ada pengepul tersendiri untuk membawa burung itu ke pasar. Dia biasa menjual burung dengan harga Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu, tergantung dari jenisnya.

Meski sering melihat elang, ia mengaku tak pernah menangkap burung jenis ini. “Kami tahu, elang termasuk burung dilindungi,” katanya.

Masih maraknya perburuan satwa dilindungi terutama Elang Jawa mendorong Biodiversity Society Banyumas melakukan sejumlah cara untuk menguranginya. “Dengan menggandeng sejumlah instansi, kami ingin mengubah pekerjaan pemburu burung dengan pekerjaan lain,” kata pendiri BSB, Hariyawan Agung Wahyudi.

Salah satu program yang sedang dilakukan yakni membuat kandang luwak untuk produksi kopi luwak. Kebetulan, di lereng Slamet, banyak penduduk yang menenam pohon kopi. Dengan cara itu, ia berharap pemburu satwa lama kelamaan akan beralih pekerjaan dan tak memburu satwa lagi.

Pendapat itu cukup beralasan. Sebab, kata dia, saat ini salah satu satwa terancam punah yakni elang jawa di lereng Slamet, populasinya kian menyusut.

Tak hanya itu, berdasarkan investigasi yang dilakukannya sejak 2007, ia menyebutkan sedikitnya 20 jenis satwa yang dilindungi diperjualbelikan secara ilegal di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Banyumas. "Satwa-satwa yang diperjualbelikan bebas di pasaran tradisional antara lain Elang Brontok, Ular, Kucing Hutan, Kukang dan lainnya,” kata dia.

Ia mengatakan, habitat di hulu Sungai Banjaran sangat beragam dan merupakan endemik dari berbagai binatang yang dilindungi pemerintah. Mulai primata seperti Owa Jawa, Rek Rekan, Elang Jawa, Monyet Ekor Panjang dan lainnya. Dari hasil penelitiannya, Owa Jawa yang ada di Lereng Selatan Gunung Slamet mencapai enam kelompok dimana jumlah tiap kelompok antara 2-4 ekor. Pesebaran dari tiap kelompok sekitar satu kilometer persegi.  

Selain itu, Biodivercity Society merilis, di Hulu Banjaran tinggal menyisakan 3 pasang Elang Jawa. Padahal, pada tahun 2005 lalu, masih ada sekitar 5 pasang Elang Jawa. Karena itu, dia berharap, seluruh masyarakat bisa melakukan perlindungan. Baik itu masyarakat di dekat hutan  atupun masyarakat perkotaan untuk terus meredam perdagangan ilegal tersebut.

Dia menjelaskan, elang Jawa adalah spesias yang merupakan simbol negara yakni Burung Garuda. Elang Jawa memiliki jambul dan hampir memiliki ciri khas bulu di sekujur tubuhnya. "Kepada pemerintah kami minta untuk pengamanan areal pesebaran habitat yang dilindungi dari tangan jahil. Kawasan Lereng Slamet sudah cukup untuk mengembangkan habitatnya sendiri, tinggal diawasi," katanya.

Agus Supriyanto, Kasi Pengelolaan Sumber Daya Hutan KPH Banyumas Timur menjelaskan bahwa KPH Banyumas Timur juga sudah melakukan survei, monitoring, dan pengelolaan lingkungan. Pada tahun  2011, diketahui ada 87 jenis satwa liar yang terdiri dari 19 mamalia, 9 jenis herpetofuna, dan 57 aves. "Dari 87 jenis satwa liar teridentifikasi 24 jenis yang dilindungi. Beberapa diantaranya yang mendapat ancaman serius adalah Owa Jawa, Pinang Jawa, Macan tutul, Suruli Jawa, rekrekan, dan Kucing Hitam" katanya.

Ziani Rokhman, aktivis dari Raptor Indonesia menyebut bahwa ada 311 jenis Elang di seluruh dunia. Nah, dari jumlah itu, 75 jenis diantaranya ada di Indonesia. Status burung Elang sendiri adalah genting dimana memerlukan pengawasan dan tindaklanjut agar tidak terjadi kepunahan. Bila Elang Jawa dibiarkan tanpa ada pengawasan, pada tahun 2025 mendatang dipastikan sudah punah oleh alam. "Elang Jawa hanya bertelur 1 butir dalam 2-3 sekali. Pada tahun 2012 ini, hanya tinggal 325 ekor Elang. Karena itu, kita ingin kebersamaan dalam menjaga simbol negara  yang memiliki kemiripan dengan elang jawa ini," katanya.

Rahmat Hidayat Kordinator Balai Konsevasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah Pemalang-Cilacap menjelaskan, bahwa keterbatasan personil BKSDA yang hanya ada 12 orang membuat pemantauan memang masih kurang. Langkah yang dilakukan adalah sosialisasi ke masyarakat agar lebih sadar melindungi satwa yang dinyatakan dilindungi.

Sampai Oktober 2012 ini, BKSDA Pemalang-Cilacap yang berkantor di Kabupaten Cilacap telah menangkap tiga orang yang hendak menjual perdagang hewan liar. Yaitu 7 Kancil, 1 burung tulung tantak, landak, elang brontok. "Sekarang sudah P-21 kasus ini," katanya. 

Wakil Bupati Banyumas, Achmad Husein berjanji akan mengusulkan aturan perlindungan satwa langka di Banyumas masuk dalam regulasi kebijakan pemkab. "Kami juga akan mengampanyekan perlindungan satwa langka di beberapa komunitas masyarakat yang berada di wilayah habitat, agar masyarakat bisa teredukasi dan terinformasi dengan baik perihal menjaga satwa langka," katanya.

0 komentar:

Posting Komentar