Sabtu, 13 April 2013

Menghijaukan Kembali Bukit Teletubbies Dieng



DIENG – Kening Mudasir, tiba-tiba mengkerut. Sejenak ia menghela nafas panjang. Diseruputnya teh hangat setengah manis. Gelap beranjak menuju tengah malam. Di luar rumah, kabut tebal mulai turun  dari perbukitan Dataran Tinggi Dieng. Suhu menunjukan angka 10 derajat celcius.

“Sekitar tahun 1970-an, masih banyak kayu besar. Dieng laksana perbukitan teletubbies yang sangat hijau,” kata dia, Jumat (5/4) pekan lalu.

Ia mengenang, sebelum tahun 1977 sebagian warga Dieng masih menanam tembakau. Setelah tahun itu, penduduk setempat mulai menanam kentang. Kentang mulai ditanam oleh petani kentang Pengalengan Jawa Barat.

Konon, petani Pengalengan mulai merosot produksinya karena lahan di sana sudah sangat rusak. Invasi petani kentang Pengalengan berhasil. Hasil kentang saat itu sangat menggiurkan. Satu hektare lahan bisa menghasilkan 50 ton kentang.

Tergiur dengan keberhasilan penyewa lahan dari Pengalengan, petani lokal pun ikut-ikutan menenam kentang. Kejayaan petani kentang pun terjadi pada tahun 1981. Saat itu, hampir semua pemilik lahan menanam kentang. Perbukitan Dieng yang bak dongen Teletubbies pun berubah. Gundul dan tanpa pohon. Semua berubah menjadi lahan pertanian kentang.

Kehidupan petani pun berubah. Banyak muncul orang kaya baru. Bahkan, petani kentang banyak yang sekedar makan malam di daerah Wonosobo yang berjarak 25 kilometer dari Dieng. Mobil dibeli bak kacang goreng. Rumah mendadak bagus dengan arsitektur art deco. “Mobil diparkir di pinggir jalan karena garasi sudah tak muat lagi,” katanya.

Rusaknya lahan Dieng membuat Mudasir Galau. Tahun 2003, ia bersama pemuda yang peduli mulai merintis pertanian organic. Tahun 2006, perkumpulan dengan nama Pertanian Kami Selaras Alam (Perkasa) pun terbentuk. Ia didapuk menjadi ketuanya.

Malam kian larut. Jaket tebal tak mampu mengurangi dinginnya udara di tempat persemayaman para dewa itu. Pagi harinya, pemandangan berbeda pun terlihat.

Tanaman wortel yang berusia 20 hari itu nampak bagai permadani hijau. Menghampar di punggungan bukit Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur Banjarnegara. Sementara di sekelilingnya, tanaman kentang masih menjadi raja dan tampak dominan di daerah itu.

“Kami mulai menanam wortel organik sebagai pengganti tanaman kentang yang selama ini kami tanam,” ujar Kabul Suwoto, 41 tahun, petani sekaligus Sekretaris Perkasa.

Kabul mengatakan, organisasi petani sadar lingkungan itu mulai terbentuk tahun 2006. Perkasa dibentuk sebagai jawaban atas semakin rusaknya lingkungan Dieng akibat pertanian kentang tanpa konservasi lingkungan.

Menurut dia, selama 30 tahun, petani kentang Dieng sudah mengeksploitasi lahan Dieng hingga mengalami kerusakan cukup parah. “Dieng sudah rusak, sangat rusak,” ujarnya.

Bayangkan saja, imbuhnya, saat ini lahan pertanian Dieng hampir tak memiliki top soil atau tanah lapisan atas. Petani menggunakan pupuk kandang yang sangat banyak untuk menanam kentangnya.

Satu hektare lahan kentang, kata dia, membutuhkan sekitar 30 ton pupuk kandang. Ketebalan pupuk itu bahkan mencapai 10 sentimeter. Selain itu, penggunaan pupuk kimia juga luar biasa banyak. Petani biasanya menggunakan pupuk kimia sebanyak 12 kuintal pupuk kimia. Setaip hari, biasanya petani melakukan 2-3 kali penyemprotan dengan pestisida.

Menujrut dia, pola tanam petani selama ini juga ikut menurunkan produksi pertanian. “Dulu bisa penen 30 ton, sekarang paling banyak bisa panen 15 ton tiap hektarnya,” kata dia.

Tingginya penggunaan pupuk juga semakin menambah biaya produksi. Dulu, sekitar 10 tahun lalu, biaya produksi satu hektare lahan kentang hanya membutuhkan Rp 7 juta. Namun, saat ini biaya produksi kentang naik menjadi Rp 15 juta tiap hektarenya.

Selain rusaknya lingkungan, penurunan produksi juga disebabkan hama tanaman yang paling ditakuti petani kentang, yakni NSK atau Nematoda Sista Kuning. Konon hama ini berasal dari Malang Jawa Timur.

Sadar akan lingkungannya yang rusak, Kabul dan Mudasir bersama kawan-kawannya mulai melakukan kampanye tanaman organik. “Awalnya memang membutuhkan lebih banyak biaya, tapi saat ini lebih murah dibandingkan denga cara konvensional,” katanya.

Selain mengembangkan pertanian organik, saat ini mereka juga mengembangkan peternakan organik. Selain sapi, ternak lainnya yang kini menjadi andalan adalah Domba Batur. Domba gendut yang mirip shaun the sheep itu, bahkan bisa menghasilkan wol yang di pasaran laku Rp 7.000 perkilogram.

Budi Santoso, salah satu anggota Perkasa mengatakan, kini kelompoknya sudah mempunyai kawasan pertanian organik Dieng. “Pupuknya kami fermentasi sehingga tidak merusak lingkungan,” katanya.

Penggunaan pupuk sendiri saat ini sudah dikurangi hingga 30 persen. Pestisida juga sudah tak digunakan, mereka lebih memilih menggunakan musuh alami. Selain itu, pertanian monokultur yang selama ini hanya menanam kentang juga mulai diubah. Mereka menanam wortel dan tanaman lain berselang-seling. “Ternyata, dengan menggunakan sistem selang-seling, NSK bisa hilang,” katanya.

Ia sendiri sudah tiga tahun tak menanam kentang untuk membunuh hama NSK. Kini, ia bisa makan wortel langsung dari kebun tanpa takut wortelnya mengandung pestisida tingkat tinggi. Hal itu sangat berbeda dengan jaman dulu, ketika buah kentang mengandung pestisida yang cukup tinggi.

Kepala Desa Dieng Kulon, Slamet Budiyono mengatakan, saat ini anggota Perkasa berjumlah 127 petani. “Cukup susah mengubah pola pikir masyarakat, mereka sudah terlalu lama menggunakan pola tanam yang salah,” katanya.

Ia berharap, warganya segera mengubah pola tanam yang selama ini cukup merusak lingkungan. ia sendiri mentargetkan, tahun 2014 petani bisa swasembada benih kentang organik.

Salah seorang dokter Puskesmas Dieng Kulon membenarkan ancaman terpaparnya petani akibat pestisida. “Biasanya mereka sesak nafas dan paling berbahaya bisa terkena kanker,” katanya.

Setiap hari, kata dia, sedikitnya 20 warga memeriksakan dirinya ke Puskesmas Dieng Kulon. Ia sendiri tak bisa memastikan jenis penyakit yang paling dominan di desa itu. “Perlu ada tes medis,” ujarnya.

Kepala Dinas Pertanian Banjarnegara, Dwi Atmadji mengatakan, pola tanam petani Dieng memang harus berubah. “Selain merusak lingkungan juga membahayakan kesehatan,” katanya.

0 komentar:

Posting Komentar