Minggu, 28 Oktober 2012

Burung dari Jepang Itu, Singgah di Gunung Slamet



PURWOKERTO – Selepas Shubuh, Tempo bersama dua pengamat burung, menembus kabut melaju menuju hutan lereng Gunung Slamet. Satu-satunya hutan di Jawa Tengah yang masih bagus. Pagi itu, Sabtu (27/10), kami berniat mengamati Elang Jawa. Menurut informasi dari masyarakat Desa Kalipagu Kecamatan Baturraden Banyumas, sepasang Elang Jawa sering bertengger di sebatang pohon di hutan Gunung Slamet.

Letak ponon itu berada di puncak bukit. Penduduk setempat menyebutnya bukit cinta. Butuh 20 menit untuk mendaki bukit itu. Jalan menuju bukit merupakan punggungan yang kanan-kirinya merupakan jurang. Butuh konsentrasi lebih agar bisa sampai di atas bukit.

Sesampainya di lokasi, kami langsung mencari lokasi terdekat dengan pohon yang biasa digunakan sepasang Elang Jawa itu bertengger. Pohon itu oleh masyarakat setempat dinamakan pohon Benda. Ada dua dahan yang tak berdaun yang biasa digunakan untuk bertengger.

Agar tak membuat takut Elang Jawa, dibuatlah lokasi mengintip dengan kamuflase. Kami membuat semacam goa yang dibangun dari semak dan rerumputan. Semua serba tertutup, hampir tak terlihat dari luar. Bahkan, pencari rumput yang melintas, pun tak tahu ada tiga manusia di dalam semak itu.

Tiga buah lubang kami buat dari sela-sela semak. Lubang ini digunakan sebagai tempat lensa kamera mengunci obyek foto.

Satu jam berlalu, tak ada tanda-tanda burung yang dijadikan lambang negara itu, burung Garuda, muncul. Mendung agak mengganggu. Elang Jawa biasanya muncul saat matahari bersinar.

Jam kedua, semut di dalam goa mulai terusik. Mereka menggigit apa saja yang dirasa mengganggu sarang mereka. Sesekali, ulat bulu terlihat melintas dengan muka tanpa dosa. Tak mau kalah, lebah madu mendengung menghisap sari bunga.

Tiga jam berlalu, tak ada tanda-tanda Elang Jawa muncul. Jarak goa kamuflase dengan pohon tempat tengger sekitar 10 meter. Di posisi ini, kami yakin bisa mengclose-up muka elang yang cukup gagah itu.

Kaki mulai kram. Perut mulai mengeluarkan bunyi krucuk-krucuk. Rasa gatal dari ilalang pun mulai terasa. Perasaan bosan pun mulai melanda. “Kita harus bertahan,” kata Timur Sumardiyanto, Koordinator Banyumas Biodiversity Banyumas, Timur Sumardiyanto.

“Biasanya jam segini, elang mulai keluar,” kata Hariyawan Agung Wahyudi, Advisor Board Raptor Indonesia, sambil sesekali mencoba meluruskan kaki yang mulai kesemutan.

Tepat pukul 12.00, kami memutuskan keluar tempat persembunyian. Elang Jawa yang ditunggu tak muncul juga.

Tiba-tiba, dari arah belakang persembunyian, kami melihat sepasang Sikep Madu Asia dan seekor Elang Alap Cina. Dua burung jenis raptor yang merupakan burung migrant. Sikep Madu asalnya dari Jepang dan daerah Siberia. Sementara Elang Alap, berasal dari Cina.

Mereka mengikuti angin dan menghindari musim dingin dengan melakukan perjalanan ribuan kilometer menuju Indonesia yang suhunya lebih hangat. Biasanya, tempat persinggahan terakhir adalah Nusa Tenggara Timur. “Gunung Slamet dan Sungai Serayu merupakan salah satu tempat favorit burung migrant ini,” kata Timur.

Bulan-bulan ini, kata dia, puluhan ribu burung migran mulai terlihat di angkasa Banyumas. Saat ini mereka sedang singgah atau roosting di sejumlah tempat di Banyumas.

“Kedatangan mereka sebenarnya sudah dimulai sejak awal Oktober, biasanya mereka tinggal hingga Maret,” ujarnya.

Timur mengatakan, Banyumas menjadi salah satu tempat persinggahan burung migran dari belahan bumi bagian utara. Saat ini, belahan bumi bagian utara sedang memasuki musim dingin sehingga burung bermigrasi ke wilayah bumi bagian selatan termasuk Indonesia.

Migrasi burung tersebut terjadi setiap tahun. Burung membutuhkan suhu hangat yang bisa ditemukan di daerah tropis.  Jenis burung yang bermigrasi meliputi puluhan jenis elang, layang-layang dan burung air. Dari pantauan Tempo, burung tersebut bertengger di dahan pohon pinus dan kabel SUTET.

"Burung tersebut berasal dari sekitar Siberia, Cina dan Jepang. Mereka terbang menempuh ribuan kilometer melalui semenanjung Malaya, melewati Sumatera kemudian melintasi Jawa dan berakhir di kepulauan Nusa Tenggara," kata Timur.

Timur menambahkan, periode kedatangan migrasi burung-burung tersebut dimulai dari Oktober hingga Nopember setiap tahunnya. Setelah istirahat sekitar 3 bulan, mereka akan memulai perjalanan pulang di awal bulan Maret.

Dalam sehari, rata-rata 800 ekor burung Layang-Layang Api dan Layang-Layang Loreng Asia melintas di atas Bendung Gerak Serayu. Burung-burung tersebut menggunakan kawasan hutan di sepanjang DAS Serayu untuk istirahat di malam harinya.

Menurutnya, Sungai Serayu cukup disenangi burung migran karena melimpahnya makanan dan air. Seperti terlihat dari pantauan Tempo, burung-burung tersebut terlihat melayang di atas sawah-sawah petani untuk memakan belalang.

Selain burung pemakan serangga, burung pemakan daging atau raptors juga terlihat di sekitar hutan pinus. Mereka memakan burung-burung kecil yang jumlahnya ribuan itu. Diantaranya, elang alap cina(Accipiter soloensis) dan elang alap shikra(Accipiter badius).

Ia mengatakan, jumlah burung yang terpantau belum banyak, karena awal Oktober hingga saat ini masih merupakan awal periode migrasi. Perlu secara kontinyu dilakukan pengamatan sepanjang periode migrasi untuk mengetahui pola migrasi.

"Migrasi burung sangat penting untuk mengetahui perubahan kondisi lingkungan, terutama terkait geothermal. Penggundulan hutan akan berdampak pada perubahan geothermal, dan burung bermigrasi dapat menjadi indikator perubahan tersebut," kata Hariyawan Agung Wahyudi, peneliti keragaman hayati yang sejak tahun 2000 memantau migrasi burung di kawasan Banyumas.

Wahyudi mengatakan, kegiatan pemantauan burung bermigrasi di Banyumas juga dilakukan diberbagai kota di Indonesia yang menjadi jalur perlintasan, yaitu Aceh dan Medan di Sumatera, Bogor dan Yogyakarta di Jawa, serta Ketapang di Kalimantan. Masing-masing pengamat tergabung dalam jaringan pengamat burung se-Indonesia yaitu Burung Nusantara.

"Kami mencoba mengenalkan tentang migrasi burung kepada masyarakat Banyumas, agar perhatian terhadap lingkungan di Banyumas bisa ditingkatkan. Tidak banyak yang mengetahui bahwa Banyumas kedatangan puluhan tibu tamu dari jauh setiap tahunnya. Hal ini bisa menjadi potensi wisata pendidikan jika dikelola dengan baik," imbuh Wahyudi.

Eksekutif Officer Raptor Indonesia, Asman Adi Purwanto mengatakan, Elang Alap Cina dan Sikep Madu Asia merupakan burung raptor yang terdeteksi sudah mulai masuk Indonesia. “Terakhir, burung yang dipasangi alat pendeteksi itu sudah sampai Riau,” katanya.

Tempo sempat memotret sepasang Sikep Madu Asia di lereng Gunung Slamet. Mereka terbang tinggi di angkasa sambil bercengkerama.

Masih menurut Asman, ada empat burung yang dipasangi alat pendeteksi oleh pemerhati burung di Keio University Jepang. Empat burung itu diberi nama, Ken, Kuro, Yama dan Nao. Posisi terakhir mereka terdeteksi di Malaysia dan Sumatera. “Jika tak ada gangguan, kemungkinan mereka seminggu lagi bisa sampai di Banyumas,” katanya.

Sikep Madu berukuran sekitar 50 centimeter. Warna sangat bervariasi dalam bentuk, terang, normal, dari dua ras yang berbeda. Masing-masing ,meniru elang yang berbeda dalam pola warna bulu.

Terdapat garis-garis pada ekor yang tidak teratur. Semua bentuk memiliki tenggorokan berbercak pucat kontras, dibatasi oleh garis tebal hitam, sering dengan garis hitam mesial. Ciri khas ketika terbang kepala relatif kecil menyempit, leher agak panjang, sayap panjang menyempit, ekor berpola. Pada saat soaring ekor cenderung mengembang.

Perjalanan mencari Elang Jawa hari itu pun berakhir. Meski tak bisa melihat Elang Jawa, kami berhasil memotret Sikep Madu dan Alap Cina.

Sesaat sebelum pulang, tiba-tiba di atas pohon di bukit seberang. Sesosok bayangan berkelebat. Di atas kepalanya, ada sepasang jambul yang tegak berdiri macam habis diberi minyak rambut tancho. Setelah diambil gambarnya, barulah kami tahu, kalau itu burung Elang Jawa yang sedang betengger.

Dalam diamnya, Elang itu seakan berkata. “Kasian deh lu”

ARIS ANDRIANTO

0 komentar:

Posting Komentar