Jumat, 26 Oktober 2012

Terputusnya Jembatan Anak Laskar Pelangi


PURWOKERTO – Langkah kecil Dewi, 7 tahun, terlihat sangat hati-hati. Seragam merah putih yang tampak masih baru itu, tak bisa mengaburkan kegelisahannya. Dipegangnya kuat-kuat, pegangan jembatan yang terbuat dari bambu itu. Baginya, meniti jembatan bambu itu, merupakan tiga menit yang menegangkan. “Takut jatuh dan hanyut ke sungai,” katanya, Rabu (24/10).

Dewi dan enam temannya, siang itu baru saja pulang sekolah. Saat ini mereka masih duduk di bangku kelas satu SDN Gunung Lurah Cilongok Banyumas. Untuk sampai di sekolah itu, mereka harus berjalan sejauh lima kilometer dari rumahnya.

Desa Gunung Lurah merupakan desa paling pinggir di kaki Gunung Slamet. Untuk menuju ke tempat itu, harus ekstra hati-hati karena jalannya lebih mirip sungai kering dibandingkan sebuah jalan. Berbukit-bukit pula. Tak jarang, sepeda motor yang ditumpangi tergelincir karena licinnya jalan.

Dewi dan enam kawannya itu laksana anak-anak dari film Laskar Pelangi yang mencoba mewujudkan mimpinya. Meski harus melewati jembatan dari bambu yang cukup berbahaya, mereka tak pernah surut langkahnya. “Saya ingin jadi guru, biar nanti murid-murid tak perlu berjalan jauh untuk sekolah,” kata Dewi.

Jembatan itu panjangnya sekitar 12 meter, dengan lebar sekitar satu meter. Jembatan yang melintas di atas Sungai Mengaji itu, merupakan satu-satunya akses menuju desa lainnya. Setiap musim hujan, aliran air selalu menghanyutkan jembatan. “Bisa dua kali dalam setahun kami membuat jembatan baru,” kata Sobirin, 37 tahun, warga setempat.

Ia mengatakan, saat jembatan terputus, anak-anak tak bisa bersekolah. Kegiatan ekonomi pun menjadi lumpuh. Ia berharap, pemerintah mau membangun jembatan permanen agar anak-anak bisa terus bersekolah meskipun hujan turun.

Kepala Desa Sokawera, Mukhayat mengatakan, "Jembatan hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Tetapi jembatan itu menjadi satu-satunya jalan warga untuk berpergian sekolah, bekerja maupun pertanian,” katanya.

Meski sering banjir, Sungai Mengaji menjadi sumber pembangkit turbin kincir air. “Mereka mengandalkan listrik dari kincir air,” katanya.

Hanya saja, kincir air tersebut sering hilang diterjang derasnya air sungai saat hujan deras. Padahal, untuk membuat satu perangkat kincir, mereka harus mengeluarkan uang sekitar Rp 2 juta.

0 komentar:

Posting Komentar