Perayaan Ulang Tahun Rektor Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto, Edy Yuwono, pada 8 Desember 2011 berlangsung meriah.
Meski hanya didatangi sejumlah koleganya, tetamu pada acara makan-makan itu
terlihat sumringah.
Selain dirinya yang diundang, turut hadir pula
sejumlah anggota Tim 9 atau dikenal dengan kelompok Walisongo. Tim inilah yang
belakangan diperiksa Kejaksaan Negeri Purwokerto karena dugaan kasus korupsi
kerjasama Unsoed dengan PT Aneka Tambang. Tiga orang sudah ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus ini, yakni Rektor Edy Yuwono, Kepala Unit Pelaksana
Teknis Penerbitan dan Percetakan Winarto Hadi dan Asisten Senior Manager CSR PT
Antam Suatmadji.
Masih menurut Pujiyanto, ia segera mengulurkan
tangan dan mengucap selamat kepada rektor yang malam itu ditemani istri dan
anaknya. Begitu juga dengan anggota kelompok Walisongo lainnya. Berdandan necis
dan klimis.
Segera setelah berkumpul, gadget yang baru mereka
beli bersama-sama dikeluarkan. Semua memegang tablet warna hitam. Saling
bertanya tentang aplikasi yang belum mereka pahami.
Selain tablet kembar, tiga orang juga datang ke
rumah makan di bilangan Alun-alun Purwokerto dengan mobil yang sama. Mobil
Daihatsu Terios warna hitam itu, dibeli dari uang kerjasama dengan Antam,
seminggu setelah uang Antam cair. Ketiga mobil itu kini sudah disita kejaksaan
sebagai barang bukti. “Mereka bercanda sering kebablasan saat menuju lokasi
proyek karena mobilnya terlalu halus jalannya,” kenang Pujiyanto.
Lokasi proyek kerjasama Antam di Desa Grabag
letaknya sekitar 120 kilometer dari Purwokerto. Tempat di mana Unsoed berada.
Tempatnya berada di pesisir selatan Purworejo atau lebih dikenal dengan Pantai
Ketawang.
Untuk bisa menuju lokasi, bisa melalui jalan lingkar
selatan-selatan. Jalan alternatif yang menghubungkan Jawa Barat dengan
Yogyakarta.
Saat melintas jalan ini harus ekstra hati-hati.
Selain jalanan yang berlubang, saat malam hari juga sangat gelap karena tak ada
lampu penerangan.
Lokasi proyek yang dinamakan Lahan Demplot
Pertanian, Peternakan dan Perikanan Terpadu itu berada di lahan bekas tambang
pasir besi PT Antam. Dari jalan utama, lokasinya masih menjorok ke dalam,
sekitar satu kilometer.
Di depan pintu masuk, ada penanda papan nama dan
gapura. Sementara di sekeliling demplot, pagar besi sudah mulai dibangun.
Dari pantauan Tempo, di bagian depan demplot sudah
dibangun pendopo. Tampak paving yang masih belum terpasang semua. Di dalam
demplot, terlihat bangunan mess dengan enam kamar.
Di sisi selatan mess, ada empat kandang sapid an
lima kandang ayam. Selebihnya hanyalah lahan pasir yang sebagian kecil ditanami
sayuran dan sisanya terbengkalai.
Di tempat yang sama, pada 20 Desember 2010, Rektor
Unsoed Edy Yuwono dengan muka sumringah mengatakan,”Nantinya petani akan
memperoleh penghasilan sebesar Rp 60 juta per bulan,” kata dia kala itu saat
panen perdana pertanian di lahan itu.
“Janji itu tak pernah terwujud,” kata Giran Gani, salah
satu anggota Gabungan Kelompok Tani Maju Makmur di desa itu.
Giran merasa kerjasama itu hanya akal-akalan. Jargon
pemberdayaan masyarakat yang sejak awal didengungkan, tak pernah terlaksana.
“Bukannya pemberdayaan, tapi memperdayai,” katanya geram.
Ia bahkan berani memperkirakan nilai proyek itu dari
bangunan yang ada. “Kira-kira hanya menghabiskan Rp 800 juta saja,” katanya.
Ungkapan senada juga dikatakan oleh Pujiyanto.
Selain tak mendapat mobil Hilux seperti yang dijanjikan, program pemberdayaan ekonomi
mikro juga tak jalan. “Anehnya, program usaha mikro dengan membuat koperasi
justeru diarahkan untuk mengambil kredit di BPR milik salah satu anggota tim,”
katanya.
Anggota tim yang dimaksud adalah Purnama Sukardi,
salah satu anggota Kelompok Walisongo. Purnama sendiri menjabat sebagai
komisaris BPR Syariah Khasanah Ummat. Kantornya berada di Purwokerto.
Ia mengatakan, karena tak kunjung mendapat
permodalan, mereka akhirnya membuat koperasi sendiri dengan iuran pokok sebesar
Rp 300 ribu. “Kami tak pernah menerima uang Antam, koperasi kami dirikan atas
usaha sendiri,” katanya. Sejumlah petani bahkan sudah mengambil kredit
rata-rata Rp 20 juta di BPR itu.
Selain itu, kata dia, program pemberdayaan
masyarakat juga tak jalan. Dari total 120 anggota kelompok tani, hanya empat
orang yang terlibat dalam proyek itu. Empat orang yang terlibat pun, sistemnya
digaji harian sebesar Rp 40 ribu.
Sukarjo, 41 tahun, satu dari empat orang yang
terlibat proyek itu mengatakan, di kandang sapi ada 50 ekor sapi yang digemukan
setiap empat bulan. “Setiap empat bulan dijual, tapi hasilnya saya tidak tahu,”
katanya.
Satu ekor sapi, kata dia, bisa menghasilkan
pendapatan bersih sebanyak Rp 400 hingga Rp 1 juta. Setahun, imbuhnya,
penggemukan bisa dilakukan tiga hingga empat kali. “Kapan sapi akan diserahkan
ke petani untuk dikelola kelompok, kami belum tahu,” katanya.
Tak hanya itu, kata dia, kandang ayam yang dibangun
dari duit Antam, juga tak dikelola dengan baik. Bahkan, petani harus menyewa
sebesar Rp 4 juta per musim pembesaran ayam.
0 komentar:
Posting Komentar