Selasa, 07 Agustus 2012

Balada Penyelamat Hutan Mangrove Nusakambangan



NUSAKAMBANGAN – Rintik hujan membuat lingkaran-lingkaran kecil memenuhi Selat Nusakambangan. Lingkaran kecil itu sedetik kemudian hilang diterjang hempasan gelombang dari perahu yang melintas. Di kanan-kiri selat, nampak hutan mangrove menghijau mulai beranjak rimbun.

“Pohon itu baru kami tanam satu tahun lalu,” kata Thomas Heri Wahyono, 45 tahun, penduduk Desa Ujung Alang Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Sabtu, akhir pekan lalu.

Wahyono, begitu ia biasa disapa, oleh tetangganya lebih dikenal sebagai pahlawan penghijauan hutan mangrove. Hutanmangrove sepanjang Laguna Segara Anakan hingga ujung timur Nusakambangan dikenal sebagai hutan mangrove terluas di Pulau Jawa. Kini kondisinya sangat memprihatinkan akibat penebangan liar oleh penduduk.

Wahyono menceritakan, Kampung Laut merupakan daratan di antara hutan mangrove yang terbentuk akibat sedimentasi beberapa sungai yang bermuara di Segara Anakan. Salah satu sungai terbesar yakni Sungai Citanduy yang melintas di 11 kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Ia mengaku sudah tinggal di tempat itu selama 40 tahun lebih. Hutan mangrove itu, kata dia, sewaktu kecil merupakan tempat ia bermain dan mencari ikan. Memorinya tentang banyaknya pohon mangrove yang berdiri kokoh dan tinggi menjulang masih terjaga di otaknya.

Wahyono kecil begitu kagum dengan lingkungannya itu. Pohon-pohon besar mangrove mampu menjadi habitat berbagai macam biota laut. Tak hanya ikan, hewan lain seperti udang dan kepiting begitu melimpah di tempat itu. Hewan laut itu, biasa ia tukar dengan beras, minyak, dan kebutuhan pokok lainnya dengan warga di daratan Cilacap.

Penduduk setempat juga biasa menggunakan pohon mangrove untuk membangun rumah. Mereka mengambil sekedarnya tanpa berlebihan sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap luasan hutan mangrove.

Kenangan manis itu seketika hancur berantakan. Tahun 1995, kata dia, terjadi pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran. “Investor dari Jawa Barat mulai datang dan membuka tambak untuk budidaya udang,” katanya.

Mudahnya mendapatkan uang, membuat warga tergiur. Mereka pun lantas menyewakan lahan dan mulai membuka ratusan hektare hutan. Selama empat tahun, mereka menikmati masa keemasan dari hasil tambak.

Seperti kata pepatah, tak ada pesta yang tak berakhir. Memasuki tahun 1999, satu persatu investor mengalami kebangkrutan. Udang peliharaan mereka mulai terserang virus mematikan dan membuat mereka gulung tikar. Apa lacur, hutan mangrove yang dulunya ijo royo-royo kini mirip padang savanna gersang penuh semak belukar. “Sejak saat itu, ikan, udang dan kepiting mulai sulit didapatkan,” katanya.

Sadar akan lingkungannya yang rusak, Wahyono tergerak untuk membuat sebuah gerakan radikal. Ia bertekad untuk menanami kembali hutan mangrove di kampungnya yang sudah rusak. Niatnya itu, ia sampaikan kepada keluarganya. Tak butuh waktu lama, gayung pun bersambut.

Ia kemudian mengajak enam anggota keluarganya dan membentuk sebuah kelompok untuk menanam mangrove kembali. Kelompoknya diberi nama Keluarga Lestari. “Tujuannya hanya satu, menanam kembali hutan mangrove,” tegas dia.

Wahyono mempunyai empat orang anak, Yufita Reni Windiyastuti, Antonius Jonny Riyanto, Andreas Aji Wibowo, dan Claudius Mario Tegar Saputro, hasil pernikahannya dengan Monika Tumirah. Bersama anak dan istrinya itu, ia mulai mengkampanyekan gerakan menanam kembali hutang mangrove yang sudah rusak.

 Gerakan awal yang dilakukannya di tahun 2001 bersama keluarga memang tidak kemudian disambut baik oleh masyarakat sekitar. Bahkan, ada sejumlah warga yang justru mencibir terhadap apa yang mereka lakukan.

“Saya terus menyemangati saudara-saudara saya untuk tidak berhenti menanam. Karena seperti pengalaman waktu-waktu sebelumnya, kalau hutan mangrove lebat, maka ikan, udang dan kepiting akan sangat gampang ditemui. Selain itu, jika butuh kayu, tinggal potong ranting pohon mangrove yang besar. Pemotongan itu pun harus bijak, tidak seluruhnya, supaya pohonnya tidak mati,” kata Wahyono yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar.

Menginjak tahun kedua, warga sekitar mulai tertarik membantu Wahyono. Meski tak mendapatkan upah, warga sekitar tetap bersemangat untuk mengikuti jejak Wahyono. Saat ini, tercatat 50 orang tergabung dalam kelompoknya. “Karena anggotanya semakin banyak, nama kelompoknya diubah menjadi Krida Wana Lestari dan setiap 35 hari kami mengadakan pertemuan,” katanya.

Sepuluh tahun berjalan, kini mereka sudah menghijaukan kembali hutan mangrove sekitar 30 hektare. Mereka kini juga mempunyai sebuah pondok sebagai tempat untuk kumpul-kumpul.

Untuk menunjang perekonomian, mereka kini membangun tambak untuk budidaya kepiting. Tambak yang dibuat di tengah-tengah hutan mangrove yang sudah mereka hijaukan kembali ternyata cukup menghasilkan.

Hasilnya pun cukup lumayan, dari bibit kepiting yang dibeli Rp 20 ribu perkilogram, setelah dibesarkan sekitar empat bulan bisa dijual menjadi Rp 120 ribu. Mereka beranggapan, usaha kepiting tak akan sukses jika hutan mangrovenya rusak.

Sukarjo Kliwon, 50 tahun, salah satu anggota kelompok mengaku awalnya ragu dengan apa yang dilakukan Wahyono. “Tapi lambat laun terlihat ada hasilnya, saya sekarang menjadi coordinator penghijauan wilayah utara,” katanya.

Ia mengakui, masih banyak warga yang belum tergerak untuk mengikuti jejak kelompoknya. Pun hingga hari ini, ketika semakin banyak kelompok masyarakat di luar Cilacap yang mulai ikut menanam kembali hutan mangrove, warga dengan cueknya hanya melihat.

Baginya, memulihkan hutan mangrove seperti sedia kala, akan membutuhkan waktu puluhan tahun. Hanya saja ia yakin, menghijaukan hutan mangrove bukan hanya untuk dirinya tapi anak cucunya kelak yang biasa disapa anak-anak mangrove.


Rusaknya hutan mangrove bukan hanya isapan jempol. Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Cilacap, Supriyanto mengatakan, luas hutan mangrove tahun 1974 tercatat mencapai 15.551 hektare. “Saat ini tinggal  8.359 hektare saja,” katanya..

Supriyanto mengatakan, kawasan hutan mangrove Segara Anakan memiliki komposisi maupun struktur hutan terlengkap dan terluas di Pulau Jawa yang ditumbuhi 26 spesies mangrove, antara lain api-api (Avicennia alba), bogem (Sonneratia alba), dan bakau (Rhizopora mucronata), juga mengalami kerusakan akibat adanya pendangkalan. Selain penebangan hutan, kata dia, rusaknya hutan mangrove juga disebabkan sedimentasi yang masuk sekitar 1 juta meter kubik setiap tahunnya.

Ketua Mitigasi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Endang Hilmi mengatakan, hutan mangrove Nusakambangan merupakan yang terlengkap di dunia. “Dari penelitian kami, setidaknya dulu ada 30 jenis. Tapi sekarang tinggal 10 jenis,” katanya.

Menurut dia, hutan mangrove sangat penting peranannya untuk mitigasi bencana terutama bencana tsunami. Ia mencontohkan, saat tsunami tahun 2006, Cilacap tidak terlalu parah kerusakannya karena terhambat hutan mangrove. Selain itu, mangrove juga dipercaya bisa menyerap karbon yang selama ini dituding sebagai penyebab utama pemanasan global.

0 komentar:

Posting Komentar