Selasa, 07 Agustus 2012

Masyarakat Minta Transparansi Pembangunan Pembangkit Geothermal



PURWOKERTO – Proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Geothermal) di Lereng Gunung Slamet dinilai tidak transparan. Masyarakat di lereng gunung atau dikenal dengan masyarakat Pinggir Alas meminta hak informasi atas pembangunan proyek tersebut. “Kami akan mengirim surat kepada Menteri Kehutanan tentang proses yang serba tidak jelas ini,” kata Kepala Desa Melung, Budi Satrio, Senin (6/8).

Budi mengatakan, selama ini warga Melung yang berada di lereng Gunung Slamet belum pernah diajak bicara tentang proyek besar itu. Selain itu, sosialisasi juga lebih banyak dilakukan di Perguruan Tinggi dan lingkungan pemerintahan. Sedangkan masyarakat pinggir alas yang merasakan langsung dampaknya tidak pernah diberikan informasi yang lengkap.

Menurut dia, masyarakat pinggir alas paling berkepentingan dengan proyek tersebut. Sebeb, kata dia, sumber mata air dan produk non hutan selama ini menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat.

Masyarakat sendiri, kata dia, belum memutuskan apakah akan menerima atau menolak proyek tersebut. “Persoalan menerima atau menolak itu soal lain, yang penting saat ini hak informasi kami seperti diabaikan. Kami tidak tahu manfaat dan resiko yang mungkin muncul dari proyek ini,” kata dia menambahkan.

Pegiat Biro Konsultasi Bantuan Hukum Universitas Stikubank Semarang (Unisbank), Sukarman mengatakan, ada yang janggal dalam proses ekplorasi proyek tersebut. “Harusnya mereka membuat Amdal terlebih dahulu bukan hanya membuat Upaya Kelola Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL),” katanya.

Ia mengatakan, berdasarkan Surat Menteri Kehutanan No 359/Menhut-II/2004, Gunung Slamet merupakan salah satu kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Menurut dia,  kondisi dan potensi SDA alam yang ada di kawasan hutan Gunung Slamet terancam dengan adanya rencana pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PL TP) oleh PT Sejahtera Alam Energi.

Ia menyebutkan, berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah No. 541/27/2011 tanggal 11 April 2011, PT. Sejahtera Alam Energy (SAE) mendapat Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi Daerah Baturraden seluas 24.660 hektare, yang meliputi 5 Kabupaten, yaitu Banyumas, Purbalingga, Tegal, Brebes dan Pemalang. “Gunung Slamet memiliki peran penting bagi setidaknya lima wilayah kabupaten. Peran penting tersebut meliputi tata air untuk pertanian, air minum, pengendali banjir dan mata pencaharian bagi lebih dari 10 ribu petani hutan,” katanya.

Aktivis Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Tandiono Bawor Purbaya mengatakan, selama ini masyarakat lebih banyak mendapat informasi dari media. “Pemerintah belum pernah memberikan informasi yang lengkap terhadap masyarakat dengan pembangunan ini. Ini soal hak publik mendapatkan informasi yang benar,” katanya.

Menurut dia, proyek tersebut harus dilakukan sangat hat-hati sejak dari proses awal. Apalagi hutan lindung di Gunung Slamet merupakan satu-satunya yang masih utuh di Jawa Tengah.

Ia mengingatkan pemerintah, meskipun perbandingan antara luas lahan yang akan dibuka dengan luas hutan lindung kecil, namun jika dikaji dengan kacamata ekologis, ada potensi fragmentasi habitat di lokasi itu. Gangguan ini akan berdampak terhadap daya dukung kawasan akan kelangsungan hidup spesies primata dan mamalia.

Menurut dia, pembukaan akses ke hutan membawa kemungkinan datangnya masyarakat yang tidak bertanggung jawab untuk merusak hutan secara sadar atau tidak. Potensi penebangan hutan sampai perburuan flora dan fauna yang dilindungi juga bisa jadi ancaman. Belum lagi potensi gangguan akan jalur migrasi komunitas Burung Raptor yang dapat menyebabkan kepunahan satu atau dua spesies yang gagal beradaptasi.

0 komentar:

Posting Komentar