Jumat, 03 Agustus 2012

Berpetualang Menyusuri Curug Sabuk Gunung Slamet


Hempasan angin disertai air embun begitu keras terasa. Tubuh serasa bergoyang kebelakang terbawa hempasan angin. Kurang dari lima menit, baju yang melekat sudah basah kuyup. Wajahpun penuh dengan titik-titik air seperti tetes embun di pagi hari.
“Airnya sangat dingin, anginnya kuat sekali,” ujar Tenri Citra Dewai, 20 tahun, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Kamis (29/12).
Tenri pergi berwisata kecil ke Curug Cipendok di Desa Karang Tengah Kecamatan Cilongok Banyumas. Ia menghabiskan waktu barang sejenak sebelum ujian akhir perkuliahan dimulai. Tentu saja untuk refreshing.
Curug atau air terjun Cipendok, merupakan satu dari ratusan curug yang berada di sabuk lereng Gunung Slamet. Gunung terbesar di Pulau Jawa ini, memiliki hutan yang masih alami dengan 209 sungai yang masih mengalir bening. Di sungai-sungai itulah, curug-curug itu berada. Sebagian sudah mempunyai nama. Sebagian besar lagi, masih perawan dan belum bernama.
Curug Cipendok merupakan satu dari ratusan curug itu. Mempunyai ketinggian sekitar 93 meter. Airnya deras mengalir putih seperti salju. Apalagi saat difoto dengan slow speed, akan terlihat seperti butiran kapas yang terjatuh dari pohonnya.
Selain Cipendok, ada beberapa curug lain yang cukup terkenal dan dijadikan obyek wisata. Diantaranya yakni curug Ceheng, Gede, Gumawang, Ciangin, Belot, Pete, Naga, Bayan, dan Curug Penganten.
Dinamakan Curug Pete, karena di sekeliling curug banyak pohon petai. Dinamakan Curug Naga, karena bentuknya seperti naga. Sedangkan Curug Penganten atau Pengantin, karena curug itu mempunyai dua air terjun yang kembar, tingginya sama, lebarnya sama, dan debit airnya pun hampir sama. Jangan bayangkan air terjun seperti dalam film Air Terjun Pengantin yang dibintangi Tamara Blezinsky dengan adegan seksinya itu. “Untuk mencapai Curug Penganten, dibutuhkan perjuangan keras. Letaknya yang sangat tersembunyi, masih di dalam hutan alamai yang jarang dikunjungi manusia,” terang aktivis lingkungan Komunitas Peduli Slamet, Dani Armanto.
Untuk mencapai Curug Penganten, harus menembus sungai yang mengalir melalui gua yang sempit dan gelap. Belum lagi binatang melata seperti ular yang banyak dijumpai di sekitar sungai.
Dani mengatakan, di Sabuk Slamet banyak terdapat curug yang masih perawan. Curug bisa dijadikan indikator lingkungan, apakah daerah sekitarnya merupakan daerah tangkapan yang baik atau sudah rusak.
Bagi pecinta alam di wilayah Purwokerto dan Banyumas, air terjun sering dijadikan target sebagai bagian dari latihan navigasi gunung hutan. Biasanya, mereka melakukannya dengan membaca peta topografi. Kemudian secara bersama-sama mencari titik koordinat yang dicurigai sebagai air terjun.
Sebuah air terjun akan terlihat di peta topografi ketika ada kontur-kontur berbentuk V yang rapat dan ada garis putusnya. Kontur V adalah punggungan dan garis putus adalah sungai. Di situlah biasanya ada air terjun. “Kalau ada punggungan dengan panjang 100 meter, lalu ada daerah curam dengan tinggi 50 meter, biasanya itu curug,” kata penggiat lingkungan dan pecinta alam Purwokerto, Prastowo Harso Utomo.
Prastowo menyatakan sudah menjadi kelaziman bagi pecinta alam khususnya yang sering bermain di sabuk Gunung Slamet guna mencari air terjun yang masih perawan. “Ternyata memang masih banyak. Namun, untuk mencapainya butuh petualangan kecil alias harus turun lembah dan menaiki punggungan,” ujarnya.
Ia menambahkan, bersama pecinta lingkungan lainnya seringkali menemukan curug atau air terjun yang cukup jauh masuk ke hutan. “Saya yakin, pemerintah pun belum pernah melakukan survei sampai daerah itu, karena air terjunnya terletak di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan jarak dari desa terakhir sebelum hutan sekitar satu jam perjalanan,” katanya.
Air terjun yang masih benar-benar perawan itu memang cukup sulit dijangkau. Tetapi sudah banyak air terjun yang dapat dinikmati karena lokasinya cukup terjangkau, sebab dari jalan raya tidak terlalu jauh. Sebut saja Curug Gede yang terletak di Baturraden, kemudian Curug Cipendok di Cilongok dan Curug Ceheng di Sumbang. Semuanya dapat terjangkau walaupun mereka yang datang masih harus berjalan kaki menuruni lembah.
Di Lokawisata Baturraden, salah satu andalannya adalah air terjun. Sebab, di tempat itu ada air terjun Gumawang. Berbeda dengan air terjun di dalam hutan, curug yang ada kawasan wisata Baturraden sudah sangat akrab oleh para pelancong. Di tempat itu juga ada anak-anak kecil yang rela terjun dari puncak ke bawah dengan ketinggian 15 meter.
Hanya saja anak-anak itu baru mau terjun kalau ada orang yang melemparkan uang di Sungai Gumawang. Lantas secara berebutan mereka akan terjun dan mencarinya di dasar sungai.
Hanya sekitar 3 km dari Lokawisata Baturraden, ada lagi air terjun yang dinamakan Curug Gede. Tempat itu menjadi favorit bagi anak-anak muda terutama pada Sabtu dan Minggu. Bahkan, sering dijadikan tempat untuk sesi pemotretan pre wedding bagi warga di Purwokerto dan sekitarnya. “Tempatnya memang mengasyikan. Karena meski panas matahari mencapai puncaknya, di Curug Gede tetap sejuk karena di sisi kanan dan kiri ditumbuhi pepohonan rindang,” kata Finny Violina, mahasiswi Unsoed yang mengaku sering ke tempat itu.
Curug Gede memang belum dijadikan sebagai objek wisata resmi yang ditarik restribusi, sehingga para pengunjung yang datang hanya menyediakan uang parkir saja. Yang telah digarap, tetapi belum maksimal adalah Curug Ceheng yang terletak di Kecamatan Sumbang, Banyumas. Tempat itu telah dijadikan objek wisata dengan uang retribusi masuk sangat murah, hanya Rp 2.000 per orang sudah termasuk biaya parkir kendaraan.
Untuk sampai ke curug tersebut, mereka yang datang harus turun ke lembah dengan kedalaman sekitar 100 meter (m). Agar dapat menikmati Curug Ceheng, pengunjung harus melewati batu-batu yang telah tertata. Baru setelah turun ada tanah cukup lapang untuk menikmati indahnya air terjun.
Kepala Seksi Objek Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyumas Deskart Jatmiko mengakui bahwa kebanyakan air terjun yang ada di kabupaten setempat belum banyak yang tergarap. “Baru beberapa yang benar-benar dijadikan objek wisata, karena air terjun di Banyumas cukup banyak. Air terjun yang ada tidak hanya di sabuk Gunung Slamet tetapi juga ada di Pegunungan Serayu,”jelas Jatmiko.
Pihaknya, katanya, baru melakukan survei dan menemukan belasan air terjun yang potensial bisa dikembangkan menjadi objek wisata. Namun semuanya tergantung alokasi dana. Tetapi meski belum dikembangkan, setidaknya sudah banyak orang yang menikmatinya terlebih dahulu.
ARIS ANDRIANTO
Legenda Cipendok dan Seorang Peri
PURWOKERTO – Banyaknya curug ternyata juga menyimpan beragam kisah. Kisah paling terkenal yakni legenda peri Dewi Intan yang dikenal masyarakat setempat sebagai penunggu Curug Cipendok. “Wedono Ajibarang yang bernama Raden Ranusentika menikahi Peri Dewi Intan yang menunggui curug itu,” ujar Titut Edy Purwanto, budayawan lokal Banyumas, Kamis (29/12).
Itulah mengapa setiap tahun, warga Desa Karang Tengah Cilongok selalu mengadakan grebek suran untuk menghormati Dewi Intan. Sang dewi sendiri mempunyai nama asli Sudem. Di samping curug, ada sebuah bukit yang diberi nama bukit Sudem. Masyarakat percaya, di bukit itulah sang peri tinggal.
Nama Cipendok sendiri tak bisa dipisahkan dari sejarah Perang Diponegoro. Karena kalah perang, Belanda memerintahkan penguasa Banyumas untuk membuka lereng Gunung Slamet yang saat itu masih hutan belantara untuk dijadikan perkebunan.
Saat itu, Raden Ranusentika berupaya membuka hutan Gunung Slamet namun selalu gagal. Delapan bulan lamanya pekerjaannya sia-sia karena pohon yang sudah ditebang, esok harinya berdiri tegak kembali. Kejadian ini terjadi berulang-ulang, sehingga membuat bingung dan pusing Raden Ranusentika.
Ia pun lalu bersemedi di bawah curug. Di bawah curug itulah, ia menemukan kerangka keris yang juga dinamakan pendok. Setelah memiliki keris itu, ia bisa melihat makhluk halus di hutan itu. “Sejak saat itulah, curug tersebut dinamakan curug cipendok,” kata Titut.

0 komentar:

Posting Komentar