Jumat, 03 Agustus 2012

Saat Meneer Belanda Menikmati Lulur Belerang Baturraden



Naik-naik ke puncak gunung…
Tinggi-tinggi sekali…
Kiri-kanan, kulihat saja banyak pohon cemara…
Sepanjang perjalanan menuruni bukit dan menembus hutan rimba Gunung Slamet, lagu it uterus dinyanyikan. Selain lagu naik gunung, mereka juga fasih menyanyikan lagu nina bobo dan burung kakak tua. “Lagunya mudah dihafal dan syairnya pendek,” ujar Suzzane, 22 tahun, salah satu wisatawan dari Nijmegen Belanda di sela-sela tur wisata di Baturraden, Gunung Slamet, Kamis (5/7).
Suzzane datang bersama 89 wisatawan lainnya dari Belanda. Selain menikmati hutan rimba, mereka juga menyempatkan diri untuk mencoba lulur belerang dan mandi air panas di Pancuran Pitu Baturraden.
Meski tubuh mereka penuh dengan belerang, mereka tampak menikmatinya. Juru pijat yang sudah disiapkan panitia juga nampak dengan antusias memijat refleksi wisatawan yang hanya berbikini itu.
Suzzane mengatakan, ia dan kelompoknya sengaja datang ke Baturraden karena tertarik dengan panorama alamnya. Selain itu, ia ingin melihat sebuah bendungan yang dibangun Belanda pada tahun 1800-an. Hingga saat ini bendungan tersebut masih berfungsi dan airnya digunakan untuk memutar turbin PLTA Ketenger.
Deskart Jatmiko, pegawai Dinas Pariwisata Banyumas mengatakan, saat ini paket liburan untuk turis asing memang sedang banyak diminati. “Kebanyakan dari Belanda yang ingin melihat bekas negeri jajahannya itu,” kata dia.
Selain melihat panorama alam, wisatawan itu juga ingin belajar kesenian tradisional Banyumas. Malam harinya digelar pentas seni yang mempertontonkan kebolehan wisatawan menyanyikan dan bermain music khas Banyumasan.
Satiman, 29 tahun, salah satu tukang pijat mengatakan, lulur belerang belakangan sangat diminati oleh wisatawan asing. “Pijat belerang sekarang lebih terkenal dibanding pancuran tujuh,” katanya.
Satiman baru menjadi pemijat sekitar tiga bulan. Sebelumnya ia menjadi penangkap burung di hutan lereng Gunung Slamet.
Di pancuran tujuh, ada sekitar 20 pemijat belerang yang sudah membuka praktek sejak tujuh tahun lalu. Setiap pemijatan, biasanya mereka memasang tarif hingga Rp 35 ribu. Itu untuk pemijatan satu badan, sedangkan untuk tangan dan kaki saja, pengunjung hanya ditarik bayaran Rp 20 ribu.
Satiman sendiri mengaku tak pernah meminta bayaran kepada pengunjung yang meminta pijat kepadanya. “Terserah, mereka mau membayarnya berapa,” ujar Satiman.
Agus Setiawan, pemijat lainnya mengatakan, obyek wisata tersebut paling ramai dikunjungi pada saat liburan sekolah. Selain itu, pengunjung juga ramai pada hari sabtu dan minggu. “Kalau hari Kamis, biasanya turis asing yang minta pijat,” terang Agus.
Agus berkisah, ada banyak kisah mengapa orang mau luluran belerang sambil pijat refleksi. “Ada yang pijit karena rematik, pegel-pegel, atau menyembuhkan penyakit kulit. Ada juga yang pernah minta agar itunya on terus,” kata Agus.
Meski cukup banyak menarik wisatwan, sayangnya jalan menuju lokasi itu cukup susah dilalui. Jalan rusak dan berkelok cukup membahayakan wisatawan yang kurang berhati-hati. Padahal, miliaran rupiah tiap tahunnya mengalir ke kas pemerintah.

0 komentar:

Posting Komentar